BAB I
PENDAHULUAN
LANDASAN DASAR-DASAR NORMATIF
KEPEMIMPINAN
KEPENDIDIKAN BUDAYA LOKAL HUMA BETANG
SESUAI PANCASILA DAN UUD 1945
Keyword: landasan dasar-dasar normatif, kepemimpinan
kependidikan budaya lokal
A.
Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk individu yang
terikat dalam proses interaksi dalam hubungannya dengan manusia lain merupakan
gambaran kehidupan yang ada dalam sebuah masyarakat dahulu dan sekarang. Oleh
sebab itu manusia dibekali oleh Rabb pendengaran, penglihatan dan hati
yang merupakan modal dasar bagi setiap manusia untuk bisa memposisikan dirinya
baik sebagai makhluk individu, masyarakat, pemimpin (khalifah), guna
kelangsungan hidupnya di dunia dan di akhirat. Untuk bisa mengetahui tentang
kebaikan dan keburukan Allah SWT juga memberikan akal pikiran kepada manusia
agar mereka mampu mengenal Rabbnya sehingga beriman kepada-Nya. Dengan akal
juga manusia mampu berkreasi sehingga menghasilkan sebuah karya seni dan budaya
yang indah yang mampu mengantarkannya kepada peradaban yang lebih maju.
Menurut Goerge Herbert Mead dalam
Deddy Mulyana dalam Sabian Utsman,
bahwa manusia individu (social-self) terdiri dari dua fase, pertama “
Aku ” ( i ), yaitu aku adalah diri yang subjektif, refleksif dalam
situasi dan kecenderungan impulsif individu untuk bertindak dalam suatu cara
yang tidak terorganisasikan, tidak terarah dan spontan. Yang kedua “ Daku “ ( me
), yaitu pengambilan peran dari sikap orang lain atau kelompok tertentu.
Perilaku-perilaku individu ( aku )
dan ( daku ) inilah yang akan melahirkan sebuah hubungan komunikasi yang
menjadi sebuah kesepakatan budaya yang terpatri dalam nilai-nilai adat, sosial
masyarakat dan negara yaitu Pancasila dan UUD 1945. Di antara nilai-nilai tersebut
adalah nilai falsafah “ Huma Betang “
(rumah panjang) dan nilai persatuan dan kesatuan.
Nilai-nilai inilah yang merupakan
landasan dasar dalam kepemimpinan yang bebas terpimpin dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernilai kearifan lokal, kata Prof.Dr.Norsanie Darlan
dalam Saidul Karnain Ishak (penulis Falsafah Huma Betang Perlu Dilestarikan,
terbitan Kompas.com, Senin, 06 Oktober 2014). Sehingga nilai-nilai ini masih
perlu dikaji dan dikembangkan dalam tatanan kehidupan sekarang, yang nantinya
akan bermuara pada tatanan kehidupan masyarakat madani, sebagaimana yang
diidamkan oleh umat Islam.
Dengan beranjak dari uraian di atas
penulis mencoba mengangkat konsep dasar-dasar normatif dalam kepemimpinan
budaya lokal yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 dalam hubungan dengan
kehidupan sekarang, khususnya nilai-nilai yang terkandung dalam Falsafah Huma
Betang. Falsafah Huma Betang ini merupakan ruang publik yang bisa dikembangkan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dalam sebuah kepemimpinan
yang bebas dan terpimpin dengan mengedepankan persatuan dan kesatuan yang posisinya
setara dan mampu melakukan transaksi-transaksi, wacana dan praksis politik
tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Apakah landasan dasar-dasar normatif?
2.
Bagaimana kepemimpinan budaya lokal huma betang?
3.
Manfaat apa yang bisa diambil dari kepemimpinan budaya
lokal huma betang.
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk mendapatkan pemahaman tentang landasan dasar-dasar normatif, kepemimpinan
budaya lokal huma betang dan manfaatnya.
D.
Metode Penulisan
Metode
yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah library research,
yaitu menggali dari bahan-bahan kepustakaan yang kemudian dianalisis sesuai
dengan fenomena yang ada.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan
Dasar-Dasar Normatif
Kalau kita berbicara mengenai landasan dasar-dasar normatif tentu
yang terbesit dalam benak kita adalah kitab suci yaitu Al-Quran dan al Hadis
atau bisa juga landasan negara kita yaitu Pancasila dan UUD 1945, atau ada juga
mengatakan bahwa landasan normatifnya adalah apa yang berlaku dalam sebuah
masyarakat.
Perlu dipertegas bahwa yang menjadi landasan dasar-dasar normatif
bagi kita sebagai orang yang beragama adalah Al-Quran dan Hadis. Dan karena
kita juga mendiami wilayah Indonesia tentu kita juga terikat dengan landasan
Pancasila dan UUD 1945. Artinya, dalam hal apapun, baik itu perilaku, sikap,
dan tindak tanduk kita tidak boleh bertentangan dengan landasan tersebut.
Sebagaimana disebutkan dalam latar belakang di atas bahwa manusia
dibekali akal, pendengaran, penglihatan dan hati, tentu ia akan melahirkan
sebuah pemikiran yang baru, yaitu berupa seni dan budaya yang menjadi ciri khas
orang tersebut. Maka dari itu manusia tidak bisa dilepaskan dari yang namanya
kebudayaan, karena manusia merupakan bagian dari hasil kebudayaan itu sendiri.
Dalam hal ini Van Peursen (1988) dalam Tumanggor dkk, bahwa budaya itu
semestinya diperlakukan sebagai kata kerja, bukannya sebagai kata benda.
Sehingga budaya tiap-tiap masyarakat itu berbeda-beda sesuai dengan tempat dan
waktunya terjadinya.
Pada dasarnya mansuai itu mempunyai empat kedudukan terhadap
kebudayaan, yaitu 1) penganut kebudayaan, 2) pembawa kebudayaan, 3)manipulator
kebudayaan dan 4) pencipta kebudayaan.
Sebagai penganut kebudayaan artinya ia hanya sebagai pelaku
tradisi saja. Pembawa kebudayaan adalah pihak luar atau anggota masyarakat
setempat yang membawa budaya asing/ baru. Sedangkan manipulasi kebudayaan
adalah anggota masyarakat setempat yang melakukan aktivitas kebudayaan atau
mengatasnamakan budaya setempat tetapi tidak sesuai dengan nilai-nilai atau ide
luhur yang ada. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa manusia itu baik dia
sebagai pelaku tradisi, pembawa budaya, manipulator budaya atau pencipta budaya
dan apapun yang dihasil oleh pikiran manusia harus sesuai dengan landasan
normatif yang ada.
Kaitannya dengan makalah ini penulis perlu menggarisbawahi bahwa
yang di maksud dengan landasan dasar-dasar normatif ini adalah sebagaimana yang
tertuang dalam falsafah Huma Betang yang tertuang dalam Perda Nomor 16
Tahun 2008, yaitu perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran kesetaraan,
kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan
hukum alam). Landasan
Huma Betang atau Belum Bahadat (hidup beraturan) ini merupakan
perwujudan sikap dan tingkah laku orang dayak baik terhadap dirinya sendiri,
orang lain dan alam sekitarnya yang diwariskan secara turun temurun kepada anak
cucunya hingga sekarang. Landasan normatif ini bisa dipakai oleh siapa saja
karena di dalamnya berisikan nilai-nilai yang sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945. Misalnya nilai kebersamaan, yang sesuai dengan sila ke tiga dari
Pancasila dan pasal 30 UUD 1945 tentang kewajiban membela negara. Hakinan
Daha Hasapan Belum artinya saling menukar, yaitu sikap setia dan taat
kepada pimpinan, hal ini tergambar dalam sila ke empat dari Pancasila dengan
mendahulukan musyawarah sebagai cara dalam menyelesaikan persoalan yang
dihadapi. Dengan demikian , maka pantaslah warisan budaya ini dijadikan sebagai
landasan filosofis normatif yang berlaku di Kalimantan Tengah.
B.
Kepemimpinan Kependidikan Budaya Lokal Huma Betang dan Manfaatnya
Menurut Baharuddin dan Umiarso (2012), esensi dari kepemimpinan
itu adalah kepengikutan kemauan orang lain untuk mengikuti keinginan pemimpin.
Sedangkan Menurut Herlambang (2014), ada tiga hal penting yang ada dalam sebuah
kepemimpinan, yaitu : 1. Kepemimpinan itu menyangkut orang lain, bawahan atau
pengikut dengan mempunyai kesediaan untuk menerima pengarahan dari pemimpin,
tanpa pengikut seorang pemimpin tidak akan bisa berjalan, 2. Kepemimpinan
menyangkut kekuasaan, pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan berbagai
kegiatan para anggota kelompok, tetapi para anggota kelompok tidak dapat
mempengaruhi pemimpin dan mengarahkan pemimpin secara langsung, 3. Pemimpin
dapat memberikan pengaruh, pemimpin tidak hanya memerintah tetapi mempengaruhi
seseorang agar bawahan dapat mengikuti dan melaksanakan perintah secara suka
rela tanpa paksaan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.
Kepemimpinan adalah suatu kekuatan yang penting dalam rangka
pengelolaan sumber daya secara efektif, efisien dan produktif. Sebab
kepemimpinan yang baik itu adalah yang mampu membawa masyarakatnya kepada
kesejahteraan, kebahagiaan dengan bekerja bersama-sama yang dilandasi dengan
sikap atau perilaku yang baik (organitation behaviour) yang dimunculkan
oleh pemimpinnya maupun masyarakatnya.
Jadi kepemimpinan yang dimaksud penulis dalam makalah ini adalah
keberadaan seorang pemimpin yang mampu memimpin masyarakatnya untuk bekerja
secara bersama-sama dalam mewujudkan tujuan yang ingin dicapai, yaitu
kesejahteraan dan kebahagian hidup di dunia dan di akhirat.
Untuk bisa menjadi seorang pemimpin, ada beberapa teori yang
menyebutkan bahwa pemimpin itu dilahirkan dengan membawa sifat-sifat sebagai
seorang pemimpin.
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa berhasil tidaknya kepemimpinan itu tidak
hanya dipengaruhi oleh pembawaan lahir pada diri seorang pemimpin melainkan
dipengaruhi oleh sifat-sifat terhadap yang dipimpinnya (lingkungan). Sedangkan
pandangan yang terkini mengatakan kepemimpinan itu atas dasar psikologi,
sosiologi, ekonomis dan politis dengan menyesuaikan terhadap situasi.
Kepemimpinan akan sukses atau tidak masih ditentukan oleh situasi yang selalu berubah
yang mempengaruhi perubahan dan perkembangan kehidupan kelompok yang
dipimpinnya, demikian menurut Yaqin dalam bukunya.
Penulis berpendapat bahwa kepemimpinan itu merupakan sunatullah,
artinya setiap orang berpotensi untuk bisa menjadi seorang pemimpin. Hal ini
didasarkan kepada Hadis Nabi Muhammad saw dari Abdillah Ibnu Umar :
حَدَّثَنَا بِشْرُ
بْنُ مُحَمَّدٍ الْمَرْوَزِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ
أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنَا سَالِمُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَزَادَ اللَّيْثُ
قَالَ يُونُسُ كَتَبَ رُزَيْقُ بْنُ حُكَيْمٍ إِلَى ابْنِ شِهَابٍ وَأَنَا مَعَهُ
يَوْمَئِذٍ بِوَادِي الْقُرَى هَلْ تَرَى أَنْ أُجَمِّعَ وَرُزَيْقٌ عَامِلٌ عَلَى
أَرْضٍ يَعْمَلُهَا وَفِيهَا جَمَاعَةٌ مِنْ السُّودَانِ وَغَيْرِهِمْ وَرُزَيْقٌ
يَوْمَئِذٍ عَلَى أَيْلَةَ فَكَتَبَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَنَا أَسْمَعُ يَأْمُرُهُ
أَنْ يُجَمِّعَ يُخْبِرُهُ أَنَّ سَالِمًا حَدَّثَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
عُمَرَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ
عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ
وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ
وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ
رَعِيَّتِهِ
Artinya :
Dari Abdullah bin Umar ra ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Kamu semua adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya.
Seseorang imam adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab atas
kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin bagi istrinya dan harus
bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin di
lingkungan rumah tangga suaminya dia harus bertanggung jawab atas
kepemimpinannya. Pembantu adalah pemelihara terhadap harta tuannya dia harus
bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Abdullah berkata, saya kira Rasulullah
saw bersabda juga dan seseorang anak
adalah pemelihara milik orang tuanya dia harus bertanggung jawab atas
pemeliharaannya itu. Dan kamu semua adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab
atas kepemimpinannya. (HR. Bukhari No. 893).
Namun pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau mengerti keadaan
masyarakatnya dan mau mengabdikan dirinya untuk masyarakat dengan semata-mata
mengharap ridha Allah SWT dengan tetap melaksanakan ketaatannya kepada Allah
dan Rasul-Nya, agar masyarakat yang dipimpinnya juga mau mengikuti perintah
pimpinannya.
Kaitannya dengan Kepemimpinan yang kita ketahui dari suku dayak,
bahwa orang dayak itu termasuk orang yang taat dan patuh kepada pemimpinnya.
Pemimpin atau kepala suku adalah orang yang disegani, dekat dan paham dengan
masyarakatnya serta peka dalam mengamati situasi. Disamping itu faktor Mamut
Menteng atau gagah perkasa, tegas berani tanggung resiko, berilmu tinggi,
bersikap adil dan mampu menjalankan hukum adat dengan baik dan taat kepada
hukum Pali (larangan), merupakan
syarat-syarat yang harus dimiliki apabila ingin menjadi seorang pemimpin,
demikian Nila Riwut (2003) dalam bukunya Manaser Panatau Tatu Hiang
(Menyelami Kekayaan Leluhur).
Dapat kita simpulkan bahwa kepemimpinan dalam suku dayak adalah
kepemimpinan yang memadukan antara tipe otokratis dan demokratis. Otokratis
disini adalah keputusan pimpinan yang bersikap mutlak terhadap masyarakat yang
melanggar aturan atau adat nenek moyang yang dipegang. Bersikap demokratis artinya
masyarakat boleh memberikan saran atau pendapat dalam memecahkan persoalan yang
dihadapi, yaitu dalam permasalahan yang menyangkut orang banyak masih tetap
menggunakan cara musyawarah untuk menghasilkan keputusan yang terbaik, bukan
keputusan dari pemimpinnya.
Manfaat yang bisa diambil dari kepemimpinan budaya lokal Huma
Betang ini adalah pertama, Hakinan
Daha Hasapan Belum
artinya saling menukar darah yang
kemudian pada pergelangan tangan diikatkan lamiang atau lilis. Setelah itu
memotong rotan, menaburkan beras kuning, abu, garam, kemudian ibu jari tangan
kanan dilukai sedikit hingga mengeluarkan darah. Upacara ini dilaksanakan
sebelum pukul 12.00 siang hari. Tetesan darah inilah merupakan perwujudan
lambang bakti yang setinggi-tingginya pada seorang pemimpin. Kedua dalam
falsafah huma betang ada sikap
toleransi, yaitu saling menghormati antara sesama suku dayak yang tersebar di
seluruh pulau Kalimantan, artinya walaupun mereka dipisahkan oleh sungai dan
daratan, mereka tetap saling menghormati dengan menjunjung tinggi harkat dan
martabat orang dayak. Ketiga yaitu Handep Tuntang Haduhup artinya
bekerja sama atau gotong royong saling tolong menolong, keempat mendahulukan Belum
Bahadat artinya hidup harus sesuai aturan, dimanapun kita tinggal kita
harus taat dan patuh terhadap aturan yang berlaku.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Landasan dasar-dasar normatif ini adalah perilaku hidup yang
menjunjung tinggi kejujuran kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat
pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum alam).
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau mengerti keadaan
masyarakatnya dan mau mengabdikan dirinya untuk masyarakat dengan semata-mata
mengharap ridha Allah SWT dengan tetap melaksanakan ketaatannya kepada Allah
dan Rasul-Nya, agar masyarakat yang dipimpinnya juga mau mengikuti perintah
pimpinannya.
Untuk menjadi seorang pemimpin atau kepala suku orang dayak
dia adalah orang yang disegani, dekat
dan paham dengan masyarakatnya serta peka dalam mengamati situasi, Mamut
Menteng atau gagah perkasa, tegas berani tanggung resiko, berilmu tinggi,
bersikap adil dan mampu menjalankan hukum adat dengan baik dan taat kepada
hukum Pali (larangan).
Kepemimpinan dalam suku dayak adalah kepemimpinan yang memadukan
antara tipe otokratis dan demokratis.
Kepemimpinan budaya lokal dayak yang sesuai dengan Pancasila dan
UUD 1945 dan bermanfaat bagi kita adalah Hakinan Daha Hasapan Belum artinya
saling menukar darah, sikap toleransi, yaitu saling menghormati antara sesama
suku dayak dan orang lain, Handep Tuntang Haduhup artinya bekerja sama
atau gotong royong saling tolong menolong, Belum Bahadat artinya hidup
harus sesuai aturan, dimanapun kita tinggal kita harus taat dan patuh terhadap
aturan yang berlaku.
B.
Saran
Disarankan agar kita memiliki kepedulian dan apresiasi yang tinggi
terhadap kebudayaan lokal khususnya adat dayak dengan menerapkan falsafah huma betang.
DAFTAR
PUSTAKA