IJTIHAD DAN CONTOH PEMIKIRAN IMAM
EMPAT MAZHAB
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika Nabi Saw akan mengutus Mu’adz ibn Jabl (w. 18 H/629 M) ke Yaman untuk
bertindak sebagai hakim, beliau bertanya kepada Mu’adz: “Apa yang akan kau
lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus diputuskan?, Mu’adz
menjawab: “Aku akan memutuskannya berdasarkan ketentuan yang termaktub di
dalam Kitab Allah (Al-Qur’an)“ Nabi bertanya lagi : “Bagaimana jika
didalam Kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut?” Mu’adz menjawab: “Dengan
berdasarkan Sunnah Rasulullah Saw” Nabi bertanya lagi: “Bagaimana jika
ketentuan tersebut tidak terdapat pula didalam Sunnah Rasulullah” Mu’adz
menjawab “Aku akan berijtihad dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan
suatu perkara pun tanpa putusan, lalu Mu’adz mengatakan: “Rasulullah
kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufiq kepada utusanku untuk hal yang melegakanku.[1]
Dari Hadis tersebut di atas, diperoleh kesimpulan, bahwa sumber-sumber hukum
Islam adalah al-Quran dan Sunnah, dalam al-Quran dan Sunnah tidak terdapat
ketentuan hukum sesuatu, maka diusahakan hukumnya melalui ijtihad. Karena itu
dalam sejarah pemikiran Islam, ijtihad banyak digunakan. Hakikat ajaran
al-Quran dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad. Ayat-ayat al-Quran
yang jumlahnya lebih dari 6300, hanya lebih kurang 500 ayat, menurut perkiraan
ulama, yang berhubungan dengan aqidah, ibadah dan muamalah. Ayat-ayat tersebut,
pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa penjelasan lebih Ianjut
mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaannya dan sebagainya, untuk itu ayat-
ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui al-Quran dan
hadits, yaitu pada mulanya sahabat Nabi dan para Ulama. Penjelasan oleh para
sahabat Nabi dan para Ulama itu diberikan melalui ijtihad.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan ijtihad?
2.
Bagaimana hukum dan syarat ijtihad?
3.
Bagaimana kebenaran hasil ijtihad?
4.
Bagaiman pendapat para ulama tentang ijtihad?
5.
Bagaimana cara melakukan ijtihad?
6.
Bagaiman ijtihad dan contoh pemikiran imam empat
madzhab?
7.
Apa yang dimaksud dengan itiba’ dan taklid?
8. Bagaimana pendapat empat imam madzhab tentang taklid?
C. Tujuan Penulisan
1.
mengetahui
hukum, syarat, dan kebenaran hasil ijtihad.
2.
mengetahui pendapat para ulama
tentang ijtihad dan cara melakukannya.
3.
Mengetahui metode ijtihad dan contoh pemikiran imam empat
madzhab.
4. Mengetahui
yang dimaksud dengan itiba’ dan taklid, serta pendapat empat imam madzhab
tentang hal tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
الإِجْتِهَادُ هُوَ إِسْتِفْرَاغُ
الوُسْعِ فِي نَيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ بِطَرِيقِ الإِسْتِنْبَاطِ فِي الْكِتَابِ
وَالسُّنَّةِ
“Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan dalam mencapai hukum syara’ dengan
cara istinbath (menyelidiki dan mengambil kesimpulan hukum yang terkandung)
pada Alquran dan sunah”.[2]
Ijtihad
secara bahasa berarti berusaha bersungguh-sungguh. Mengerjakan segala sesuatu
dengan segala keteguhan. Menurut ilmu ushul fiqih, ijtihad identik dengan kata
“istinbath” yang artinya, mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya. Sedangkan
menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijtihad,
diantaranya:
Ø Menurut Kasuwi Saiban: ijtihad
adalah segala upaya yang dicurahkan ujtahid dalam berbagai bidang ilmu,
seperti fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan sebagainya.
Ø Ibrahim Hosen: ijtihad adalah
penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan kitab
Allah dan sunnah rasul, baik melalui suatu nash maupun melalui maksud dan
tujuan umum hikmah syariah yang disebut mashlahat.
Ø Ahmad Azhar Basyir: ijtihad adalah
penggunaan akal fikiran semaksimal mungkin untuk memperoleh ketentuan hukum
syara’.
Ø Jumhur ulama: mengarahkan segenap
kemampuan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian
tingkat dzani mengenai hukum syara’.
Ø Depag RI: ijtihad adalah mengerahkan
semua potensi dan kemampuan semaksimal mungkin untuk mendapatkan hukum-hukum
syariah berdasarkan dalil-dalil syara’.
B. Ruang
Lingkup Ijtihad
Permasalahan yang
dapat diijtihadi ialah:
a)
masalah-masalah
yang ditunjuk oleh nash yang zhanniyatul wurud (kemunculannya perlu
penelitian lebih lanjut) dan zhanniyatud dilalah (makna dan ketetapan
hukumnya tidak jelas dan tegas).
b)
masalah-masalah
yang tidak ada nashnya sama sekali.
Sedangkan bagi masalah yang telah ditetapkan oleh dalil sharih
(jelas dan tegas) yang qat’iyyatud wurud (kemunculannya tidak perlu
penelitian lebih lanjut) dan qath’iyyatud dilalah (makna dan
ketetapan hukumnya sudah jelas dan tegas), maka tidak ada jalan untuk
diijtihadi. Kita berkewajiban melaksanakan petunjuk nash tersebut. Misalnya
jumlah hukum cambuk seratus kali dalam firman Allah:
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ... ( ÇËÈ
“Perempuan dan laki-laki yang berzina cambuklah
masing-masing dari keduanya seratus kali.” (Q.S. An-Nur: 2)
C. Hukum Ijtihad
1. Wajib ‘ain, Yaitu bagi seorang
mujtahid yang ditanya tentang masalah, sedang masalah tersebut akan segera
hilang (habis) bila tidak segera dijawab/diselesaikan. Demikian pula wajib ‘ain
apabila masalah tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui
hukumnya.
2. Wajib kifayah, yaitu bagi seseorang
mujtahid yang ditanya tentang sesuatu masalah dan tidak dikhawatirkan habisnya
atau hilangnya masalah tersebut, sedang selain dia sendiri masih ada mujtahid
lain. Dalam situasi yang demikian apabila semuanya meninggalkan ijtihad, mereka
berdosa.
3. Sunnat, yaitu ijtihad terhadap
sesuatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi baik dinyatakan atau tidak.
D. Syarat-Syarat Ijtihad
1. Bersifat adil dan takwa.
2. Memahami Al-Quran dan Al-Hadits.
Kalau tidak memahami salah satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh
berijtihad. Hal ini menjadi syarat utama, karena ijtihad hanya boleh dilakukan
apabila telah diketahui tidak ada penjelasan dari Al-Quran atau Al-Hadits.
3. Mengetahui hukum-hukum yang
ditetapkan oleh Ijma’. Sehingga ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan
Ijma’, kalau ia berpegang kepada Ijma dan memandangnya sebagai dalil.
4. Mengetahui serta memahami bahasa
Arab. Mujtahid juga harus mengatahui lafadz-lafadz yang zhahir, mujmal, yang
hakikat, yang mahmuz, am, khash, muhkam, mutasyabihat, mutlaq, muqayad, mantuq,
dan mufham. Semua ini perlu untuk memahami Al-Quran dan Al-Hadits.
5. Mengetahui Ilmu Ushul Fiqh dan harus
menguasai ilmu ini dengan kuat, karena ilmu ini menjadi dasar dan pokok
ijtihad. Hendaknya seorang mujtahid menguasai ilmu usuhl fiqh ini sehingga
sampai kepada kebenaran, dengan demikian ia mudah mengambalikan soal-soal
cabang kepada soal-soal pokoknya.
6. Mengetahui nasikh dan mansukh.
Sehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasarkan dalil yang sudah dimansukh.
E. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid
·
Mujtahid
mutlak, yaitu yang memiliki syarat-syarat ijtihad dan memberikan fatwa dalam
segala hukum dengan tidak terikat oleh sesuatu madzhab.
·
mujtahid
muntasib, yaitu orang yang mempunyai sarat-syarat ijtihad, tetapi menggabungkan
dirinya kepada sesuatu madzhab karena mengikuti cara-cara yang ditetapkan oleh
imam madzhab tersebut dalam berijtihad.
F. Kebenaran Hasil Ijtihad.
Segolongan Ulama berpendapat bahwa semua mujtahid mencapai kebenaran dalam
hasil berijtihadnya, menurut Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i. Tidak semua
mujtahid mencapai kebenaran dalam ijtihadnya tetapi ada yang mencapai kebenaran
dan ada yang tidak.
Sabda Rasulullah saw. Artinya : “seorang hakim apabila berijtihad kemudian
ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala apabila ia berijtihad
dan ternyata keliru (tidak mencapai kebenaran) maka ia mendapat satu pahala”
(HR. Bukhari).
Hadits tersebut menunjukan, bahwa kebenaran itu hanya satu. Sebagian mujtahid
dapat mencapainya, maka ia dikatakan yang mencapai kebenaran dan ia akan
mendapat dua pahala. Sebagian lagi tidak dapat mencapai kebenaran dan ia akan
mendapat satu pahala; pahala ini karena ijtihadnya, bukan karena kekeliruannya.
G. Pendapat Para Ulama tentang Ijtihad Nabi dan Sahabat.
Para Ulama sepakat bahwa Nabi boleh berijtihad dalam masalah yang berhubungan
dengan soal dunia seperti dalam soal peperangan, perdamaian, menentukan
startegi dan lain-lain.
Adapun ijtihad Nabi dalam hukum-hukum syari’ah, maka para ulama berbeda
pendapat:
·
Menurut
golongan Asy’ari Nabi tidak berijtihad sebab ia terhindar dari kemungkinan
salah. Mengapa Nabi boleh berijtihad padahal Nabi, terjamin dari kesalahan.
·
Menurut
golongan yang lain, Nabi boleh berijtihad, dan kalaupun salah maka Allah akan
memperbaiki kekeliruannya.
Adapun mengenai kebolehan para
sahabat untuk berijtihad para Ulamapun berbeda pendapatnya. Pendapat yang kuat
membolehkan para sahabat berijtihad baik dikala berdekatan dengan Nabi maupun
dikala berjauhan dengan beliau.
Nabi pernah berkata kepada ‘Amr Bin
Ash: putuskan beberapa perkara. Amr bin Ash berkata: apakah saya boleh
brijtihad sedang anda masih ada? Jawab Nabi: Ya, apabila tidak benar kamu
mendapat satu pahala’.
H. Cara melakukan ijtihad
Seseorang yang hendak berijtihad haruslah memperhatikan urutan-urutan di bawah
ini. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu dalil yang lebih tinggi tingkatannya,
barulah ia boleh menggunakan dalil-dalil berikutnya.
Urutan tersebut adalah sebagai
berikut:
Dalil dalam bentuk:
a. Nash-nash Al-Quran
b. Hadits Mutawattir
c. Hadits Ahad
d. Zhahir Al-Quran
e. Zhahir Hadits
f. Dalil Mafhum
g. Mafhum Al-Quran
h. Mafhum Hadits
i. Perbuatan dan Taqrir Nabi
j. Qiyas
k. Bara’ah Ashaliyah
Kalau ia menghadapi dalil-dalil yang
berlawanan, hendaknya ditermpuh beberapa alternatif berikut:
a. Memadukan/mengkompromikan
dalil-dalil tersebut
b. Mentarjihkan (menguatkan salah satunya)
c. Menashkan; yaitu dicari mana yang lebih dulu
dan mana yang kemudian, yang lebih dahulu itulah yang dinashkan (tidak
berlaku lagi)
d. Tawaqquf, yakni membiarkan atau tidak
menggunakan dalil dalil yang bertentangan tersebut.
e. Menggunakan dalil yang lebih rendah
tingkatannya
I. Ijtihad dan Contoh Pemikiran Imam
Empat Madzhab
1. MADZHAB HANAFI (80-150 H/ 699-767 M)
Biografi singkat Imam Abu Hanifah.
Madzhab ini didirikan oleh Abu
Hanifah yang nama lengkapnya adalah Nu’man bin Tsabit bin Zuthi. Beliau hidup
52 tahun pada zaman Dinasti Umayyah dan 18 tahun pada zaman Dinasti Abbasiyyah.
Secara politik ia berpihak kepada keluarga ‘Ali (Ahlul Bait) yang selalu
ditindas dan dianiaya oleh Dinasti Umayyah.
Beliau dilahirkan di kota Kufah, Irak pada tahun 80 H. Beliau menolak menjadi
hakim atas tawaran Khalifah al-Manshur pada masa Dinasti Abbasiyah, yang
mengakibatkannya dipenjara dan dicambuk. Akibat penderitaannya dalam penjara
beliau meninggal pada tahun 150 H.
Metode ijtihad pokok Abu Hanifah
·
Al-Qur’an
·
Sunnah Rasulullah dan atsar yang
shahih yang diriwayatkan orang tsiqah.
·
Ijma sahabat. Apabila yang
di carinya tidak di temui pada kedua sumber utama, Imam Hanafi berpegang kepada
ijma' sahabat yaitu ketika ia mendapati semua sahabat mempunyai pendapat yang
sama dalam suatu masalah. Apabila sahabat berbeda pendapat, ia memilih salah
satu pendapat yang paling dekat menurutnya kepada Al-Qur'an dan sunnah dan
meninggalkan pendapat yang lain.
·
Qiyas. Apabila beliau tidak menemukan hukum di dalam Qur'an, Hadits, dan Ijma'
sahabat, beliau melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas terlebih dahulu.
·
Qaul sahabat, apabila ada ikhtilaf, aku akan
mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki dan aku tidak akan berpindah dari
pendapat satu ke pendapat sahabat lain.
·
Apabila
didapatkan pendapat Ibrahim, Sya’bi dan Ibn Musayyab, serta yang lainnya, aku
berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.
·
'Urf. Metode ijtihad yang terakhir yang di pergunakan oleh Imam Hanafi.
Metode ijtihad Abu Hanifah yang
bersifat tambahan.
·
Dilalah
lafadz ‘am adalah qath’i, seperti lafadz khash
·
Pendapat
sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat khusus
·
Banyaknya
yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih)
·
Adanya
penolakan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan sifat
·
Apabila
perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah perbuatannya
bukan riwayatnya
·
Mendahulukan
qiyas jali atas khabar ahad yang dipertentangkan
·
Menggunakan
istihsan dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan.
Contoh Pendapat Abu Hanifah:
·
Benda wakaf
masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ’ariyah (pinjam
meminjam). Karena masih tetap milik wakif, maka benda wakaf dapat dijual,
diwariskan dan dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali wakaf untuk
mesjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan
wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa wakaf itu terus dilanjutkan meskipun
wakif telah meninggal dunia. (Istihsan)
·
Perempuan
boleh menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara
perdata, bukan perkata pidana. Alasannya, karena perempuan tidak dibolehkan
menjadi saksi pidana, perempuan hanya dibenarkan menjadi sanski perkara
perdata. Karena itu menurutnya perempuan hanya boleh jadi hakim yang menangani
perkara perdata.
Dengan demikian, metode ijtihad yang
digunakannya adalah qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai ashl dan
menjadikan hakim sebagai far’i.
Kitab rujukan Madzhab Hanafi
Masalah-masalah fiqh yang terdapat dalam Madzhab Hanafi dibedakan menjadi tiga,
yaitu:
·
Al-Ushul, yaitu masalah-masalah yang
termasuk zhahir riwayah, yaitu pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan
sahabatnya, seperti Abu Yusuf, Muhammad. Adapun kitab yang termasuk zhahir
riwayah ada enam buah, yaitu al-Mabsuth atau al-Ashl, al-Jami’ al-Kabir,
al-Jami’ al-Shaghir, al-Siyar al-Kabir, al-Siyar al-Shaghir dan al-Ziyadat.
Keenam kitab itu kemudian disusun menjadi satu kitab yaitu al-Kafi oleh Hakim
al-Syahid. Selanjutnya, kitab ini disyarahi oleh Syamsuddin al-Syarkhasi dan
dikenal dengan nama al-Mabsuth (30 jilid).
·
Al-Nawadir, yaitu pendapat-pendapat yang
diriwayatkan dari Abu Hanifah dan sahabatnya yang tidak terdapat dalam zhahir
riwayah. Kitab-kitab yang termasuk Nawadir yaitu al-Kaisaniyyat, al-Ruqayyat,
al-Haruniyyat dan al-Jurjaniyat.
·
Al-Fatawa, adalah pendapat-pendapat para
pengikut Abu Hanifah (Hanafiyah), yang tidak diriwayatkan dari Abu Hanifah,
seperti Kitab al-Nawazil karya Abi Laits al-Samarqandi.
2. MADZHAB MALIKI
Biografi singkat Imam Malik
Nama
lengkap Imam Malik adalah Malik bin Anas bin Abi ‘Amar al-Ashbahi. Beliau di
lahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Tidak berbeda dengan Abu Hanifah, beliau
juga termasuk ulama dua zaman. Ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya
pada masa pemerintahan Walid bin Malik (setelah Umar bin Abdul Aziz), dan
meninggal pada masa Dinasti Abbasiyah, tepatnya pada masa Harun al-Rasyid,
yaitu pada tahun 179 H. Beliau merasakan pemerintahan Umayyah selama 40 tahun
dan pemerintahan Abbasiyah selama 46 tahun.
Metode ijtihad Imam Malik
Dalam proses Istinbath al-Ahkam Imam
Malik menempuh cara sebagai berikut:
1) Mengambil dari al-Qur’an
2) Menggunakan “zhahir” al-Qur’an,
yaitu lafadz umum.
3) Menggunakan “dalil” al-Qur’an, yaitu
mafhum muwafaqah
4) Menggunakan “mafhum” al-Qur’an yaitu
mafhum mukhalafah
5) Menggunakan “tanbih” al-Qur’an,
yaitu memperhatikan illat.
Dalam Madzhab Maliki lima langkah di
atas disebut sebagai Ushul Khamsah, langkah berikutnya adalah: ijma’,
qiyas, amal penduduk Madinah, istihsan, sadz dzara’i, mashlahah mursalah, qaul
shahabi, mura’at al-khilaf, istishhab dan syar’u man qablana. Sementara itu
salah satu penerus Madzhab Maliki yaitu al-Syathiby menjelaskan bahwa dalil
hukum bagi Madzhab Maliki adalah al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’ dan Qiyas.
Salah satu dalil hukum yang sering dijadikan oleh Imam Malik adalah Ijma’ ulama
Madinah. Beliau lebih mengutamakan ijma’ dan Amal ulama Madinah daripada qiyas,
khabar ahad dan qaul shahabat.
Kitab rujukan Madzhab Maliki
Kitab utama yang menjadi rujukan Madzhab Maliki:
·
Al-Muwaththa’
karya imam malik.
·
Al-Mudawwanah
al-Kubra karya Abdussalam Tanukhi.
·
Bidayah al-Mujtahid
wa al-Nihayat al-Muqtashid karya Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad
ibn Ahmad ibn Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi.
·
Fath
al-Rahim ‘ala Fiqh al-Imam Malik bi al-Adillah karya Muhammad ibn Ahmad.
·
Al-I’tisham
karya Abi Ishaq ibn Musa al-Syathiby.
Adapun kitab Ushul Fiqh dan Qawa’id
al-Fiqh aliran Madzhab Maliki antara lain sebagai berikut:
·
Syarh Tanqih
al-Fushul fi Ikhtishar al-Mahshul fi al-Ushul dan al-Furuq karya Syihabuddin
Abu al-Abbas Ahmad ibn Idris al-Qurafi (w. 684 H)
·
al-Muwafaqat
fi Ushul al-Ahkam karya Abi Ishaq ibn Musa al-Syathiby.
·
Ushul
al-Futiya karya Muhammad ibn al-Harits al-Husaini (w. 361 H)
Contoh pendapat Imam Malik
Ulama sepakat bahwa adzan shalat dilakukan dua kali-dua kali, tetapi mereka
berbeda pendapat tentang jumlah jumlah qamat shalat. Menurut Imam Malik, qamat
shalat dilakukan satu kali-satu kali. Ketika ditanya tentang adzan dan qamat
yang dilakukan dua kali-dua kali, imam malik menjawab, “Tidak sampai
kepadaku dalil tentang adzan dan qamat salat,aku hanya mendapatkannya dari amal
manusia… qamat shalat dilakukan satu kali-satu kali. Itulah yang senantiasa
dilakukan oleh ulama dinegeri kami. (Ijma’ Ulama Madinah)
3. MADZHAB SYAFI’I
Biografi singkat Imam Syafi’i
Nama lengkap Imam al-Syafi’i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Utsman
ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd
al-Muthallib ibn Abdul Manaf. Ia dilahirkan di Gazza (suatu daerah dekat
Palestina) pada tahun 150 H, kemudian dibawa oleh ibunya ke Mekkah. Ia
meninggal di Mesir pada tahun 204 H.
Beliau lahir pada zaman Dinasti Abbasiyah, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu
Ja’far al-Manshur (137-159 H/ 754-774M). Al-Syafi’i berusia 9 tahun ketika Abu
Ja’far al-Manshur diganti oleh Muhammad al-Mahdi (159-169 H/ 775-785M)
Metode ijtihad Imam Syafi’i
Cara ijtihad Imam Syafi’i secara
umum yaitu berdasarkan:
1) Al-Qur’an dan al-Sunnah
2) Ijma’terhadap sesuatu yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ijma’ lebih diutamakan atas khabar
mufrad.
3) Qaul sebagian sahabat tanapa ada
yang menyalahinya.
4) Pendapat sahabat nabi yang ikhtilaf.
5) Qiyas terhadap al-Qur’an dan
al-Sunnah.
6) Apabila hadits telah muttashil dan
sanadnya shahih, berarti ia termasuk berkualitas (muntaha).
7) Makna dzahir hadits diutamakan. Ia
menolak Hadits munqathi’, kecuali yang diriwayatkan oleh Ibn Musayyab.
8) Pokok (al-Ashl) tidak boleh
diqiyaskan kepada pokok. Bagi pokok, tidak perlu dipertanyakan mengapa dan
bagaimana, keduanya itu yaitu mengapa dan bagaimana hanya boleh dipertanyakan
kepada cabang (furu’).
9) Qiyas dapat menjadi hujjah jika
pengqiyasannya benar.
Kitab rujukan Madzhab Syafi’i
Kitab al-Umm, al-Risalah, Musnad
Imam Syafi’i, al-Hujjah dan al-Mabsuth, kesemuanya merupakan karya al-Syafi’i.
Pendapat-Pendapat
1) Tertib dalam wudhu Orang yang
wudunya tidak tertib karena lupa adalah sah Orang yang wudunya tidak tertib
meskipun karena lupa adalah tidak sah
2) Menyentuh dubur tidak membatalkan
wudhu
3) Shalat isya lebih utama dilaksanakan
dengan segera (ta’jil) Shalat isya lebih utama dilaksanakan dengan
diakhirkan (ta’khir)
4) Waktu pengeluaran zakat fitrah.
Zakat fitrah wajib pada hari idul fitri setelah terbit fajar (waktu subuh tiba)
Zakat fitrah wajib dikeluarkan pada malam hari idul fitri setelah matahari
terbenam (waktu maghrib tiba)
5) Meninggalkan bacaan Fatihah karena
lupa Seseorang yang shalat dan tidak membaca surat al-Fatihah karena lupa,
salatnya adalah sah Seseorang yang shalat dan tidak membaca surat al-Fatihah
karena lupa shalatnya tidak sah, jika yang bersangkutan ingat atau sesudahnya
sebelum berdiri yang kedua, ia kembali berdiri dan membaca al-Fatihah ketika
berdiri tersebut apabila yang bersangkutan baru teringat pada rakaat kedua,
maka rakaat tersebut dianggap sebagai rakaat pertama. Apabila yang bersangkutan
baru teringat setelah salam, maka shalatnya wajib diulangi.
6) Tayammum dengan pasir. Seseorang
dibolehkan tayammum dengan pasir Seseorang tidak dibolehkan tayammum dengan
pasir.
4. MADZHAB HANBALI
Metode ijtihad Imam Ahmad bin
Hanbal.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan
bahwa pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal di bangun atas lima dasar, yaitu
sebagai berikut:
1) Al-Nushush dari al-Qur’an dan
al-Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dari keduanya, ia berpendapat sesuai
dengan makna tersurat (manthuq), sementara makna tersiratnya (mafhum)
ia abaikan.
2) Apabila tidak ditemukan dalam
al-Qur’an dan al-Sunnah, ia menukil fatwa sahabat dan memilih pendapat sahabat
yang disepakati sahabat lainnya.
3) Apabila fatwa sahabat berbeda-beda,
ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan Sunnah.
4) Menggunakan hadits mursal dan
dha’if, apabila tidak ada atsar, qaul sahabat, atau ijma
yang menyalahinya.
5) Apabila hadits mursal dan dha’if
sebagaimana disyaratkan di atas tidak didapatkan, ia menganalogikan (mengqiyaskan).
Dalam pandangannya qiyas adalah dalil yang dipakai dalam keadaan terpaksa.
J. ITTIBA’
Ittiba’ menurut bahasa berarti mengikuti. Adapun menurut pengertian syara ittiba’ yaitu: menerima atau mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui sumber ataupun alasan pendapat tersebut.
Ittiba’ menurut bahasa berarti mengikuti. Adapun menurut pengertian syara ittiba’ yaitu: menerima atau mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui sumber ataupun alasan pendapat tersebut.
Ittiba’ dalam agama diperintahkan,
sebagaimana Firman allah:
! (#þqè=t«ó¡sù @÷dr& Ìø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. w tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ
Artinya :”Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”(An Nahl: 43)
Maksud
ayat tersebut yakni, tanyakan kepada mereka dari ilmu mereka yang dari al-Quran
dan hadits dan bukan dari pendapat mereka semata. Dzikr dalam ayat diatas
maksudnya adalah al-Quran dan hadits. Dengan demikian yang dimaksud Ahli Dzikr
dalam ayat diatas yaitu Ahli Quran dan Ahli Hadits. Apabila mereka ditanya
tentang sesuatu masalah hukum, maka jawablah : Allah menetapkan begini, atau
dalam hadits disebutklan begitu, dan sebaginya.
K. TAKLID
Yang dimaksud dengan taklid yaitu: mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil atau alasannya. Kalau kita teliti dari kurang 90% umat Islam di Indonesia barangkali orang yang mengetahui isi Al-Quran dan Hadits tidak akan lebih dari 10 %. Sedangkan selebihnya yaitu kurang lebih 80% lagi adalah terdiri dari orang awam. Karena itu kita mesti berusaha bagaimana caranya agar jumlah mereka (orang awam) ini lama kelamaan menjadi berkurang karena mau tidak mau orang-orang awam ini hanya bertaklid saja dalam masalah-masalah agama, sedangkan bertaklid ini pada dasarnya dilarang kecuali dalam keadaan terpaksa.[5]
Yang dimaksud dengan taklid yaitu: mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil atau alasannya. Kalau kita teliti dari kurang 90% umat Islam di Indonesia barangkali orang yang mengetahui isi Al-Quran dan Hadits tidak akan lebih dari 10 %. Sedangkan selebihnya yaitu kurang lebih 80% lagi adalah terdiri dari orang awam. Karena itu kita mesti berusaha bagaimana caranya agar jumlah mereka (orang awam) ini lama kelamaan menjadi berkurang karena mau tidak mau orang-orang awam ini hanya bertaklid saja dalam masalah-masalah agama, sedangkan bertaklid ini pada dasarnya dilarang kecuali dalam keadaan terpaksa.[5]
Firman Allah:
wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
Artinya : “Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu (pengetahuan) tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta
pertanggungjawabannya”(Al-Isra ayat 36)
Kalau
taklid terpaksa harus dilakukan, maka hendaknya diperhatikan syarat-syarat
orang yang ditaklidi, indentitasnya, kualitas ilmunya serta kepatuhannya
terhadap Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Haram hukumnya taklid kepada orang
yang tidak memperdulikan Al-Quran dan As-Sunah, begitu pula taklid kepada orang
yang tidak diketahui indentitas serta keahliannya dalam syariah Islam.
Syarat orang yang bertaklid:
Yang dibolehkan bertaklid ialah orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti
cara-cara mencari hukum syari’ah ia boleh mengikuti pendapat orang pandai dan
boleh mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari sendiri
hukum syari’ah. Maka ia harus berijtihad sendiri bila kesempatan dan waktunya
masih cukup serta waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan
waktu untuk mengerjakan hal-hal lain (tentang ibadah), maka menurut sebagian
ulama boleh ia mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
Syarat syarat Masalah yang Ditaklidi
Hukum terbagi kepada dua macam yaitu: Hukum akal dan Hukum Syara’. Dalam
masalah hukum akal, tidak dibolekan taklid kepada orang lain, seperti
mengetehui adanya zat yang menjadikan alam serta sifat-sifatnya. Hal ini karena
jalan untuk menetapkan hukum-hukum tersebut adalah akal, sedang setiap orang
memiliki akal. Karena itu tidak ada gunanya bertaklid kepada orang lain.
Allah mencela dengan keras taklid
soal-soal tersebut dengan firman Nya:
#sÎ)ur @Ï% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAtRr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZøxÿø9r& Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä 3 öqs9urr& c%x. öNèdät!$t/#uä w cqè=É)÷èt $\«øx© wur tbrßtGôgt ÇÊÐÉÈ
Artinya: “Apabila dikatakan
kepada mereka : “ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab:
“(tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapat dari (perbuatan)
nenek moyang kami.” (apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk “.
(Al-Baqoroh: 170)
Taklid
dalam masalah hukum syara’ dibedakan pada dua bagian, yaitu:
a. Diketahui dengan pasti dari agama
Islam, seperti wajibnya shalat lima waktu, puasa, zakat dan Haji. Juga tentang
haramnya zina, minuman keras, dan lain-lain. Dalam hal diatas, tidak boleh
taklid, karena semua orang dapat mengetahuinya.
b. Yang diketahui dengan jalan
penyelidikan dan mencari dalil seperti soal-soal ibadah tertentu, dalam soal
semacam ini dibolehkan taklid.
Pendapat empat imam madzhab dan
Ulama lainnya tentang taqlid:
·
Imam Abu
Hanifah berkata: Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan Hadits Rasul,
maka tinggalkanlah perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil
perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata.
·
Imam Malik
berkata: saya hanya manusia biasa yang kadang salah dan kadang benar,
selidikilah dahulu pendapat saya kalau sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits
maka ambillah dan yang menyalahi hendaklah ditinggalkan.
·
Imam Syafi’i
berkata: Perumpaman orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan)
seperti orang yang mencari kayu di waktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di
dalamnya ada ular yang mematuk sedang dia tidak tahu.
·
Imam Ahmad
bin Hanbal berkata: Jangan mengikuti (taklid) kepada saya atau Malik atau
Tsauri atau Auza’i tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.
·
Ibnu Ma’sud
berkata: kamu jangan mentaklidi orang kalau dia Iman maka kamu beriman kalau ia
kafir maka kamu kafir. Tidak ada tauladan dalam hal hal yang buruk.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ayat-ayat al-Qur’an pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa penjelasan
lebih Ianjut mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaan dan sebagainya, untuk
itu ayat- ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui
al-Quran dan hadits, yaitu pada mulanya sahabat Nabi dan para Ulama. Penjelasan
oleh para sahabat Nabi dan para Ulama itu diberikan melalui ijtihad.[6]
Ijtihad
adalah segala upaya yang dilakukan oleh mujtahid dalam menetapkan suatu hal
pada berbagai bidang ilmu, seperti fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan
sebagainya yang dilandasi dengan dalil-dalil syar’i (Al-Quran dan As-Sunnah).
Ijtihad
dapat dikatakan sebagai inti dinamika hukum Islam. Kegiatan ijtihad dapat
dilakukan dengan bayani maupun ra’yi. Ijtihad bayani adalah
penggalian hukum Islam dengan menganalisis lafadz-lafadz yang digunakan sebagai
dalil, melalui pendekatan bahasa. Ijtihad al-Ra’yi dilakukan dengan
menggunakan akal fikiran, baik dengan mengqiyaskan, istihsan, istishab,
maslahah maupun yang lainnya.
Melakukan
ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu kifayah,
dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki pengetahuan dan
pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai aspeknya, memahami
masalah yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa Arab, dan mengetahui ushul
fiqh.
Mujtahid
dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib.
Pendekatan dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.
Pendekatan dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.
Dalam
realitasnya, tidak semua umat Islam memenuhi syarat untuk berijtihad,
sebagiannya melakukan ittiba, bahkan tidak sedikit yang taqlid, meskipun secara
qathi’, taqlid dalam masalah-masalah yang dapat diketahui dengan akal tidak
dibenarkan, demikian pula taqlid dalam masalah-masalah ibadah khas.
Sebagai
hasil ijtihad ada yang disebut ijma, qiyas, dan fatwa. Dikalangan ummat Islam
ada yang beramal dengan talfiq, yakni mengambil yang ringan-ringan tentang
hukum sesuatu dari berbagai madzhab. Jika hal itu dilakukan pada perbuatan yang
dapat mengakibatkan batalnya amal, maka talfiq tidak dibenarkan.
Kaum Muslim
menyadari bahwa al-Quran dan hadis tidak akan mampu memecahkan semua
persoalan-persoalan kontroversial, khususnya persoalan hukum perundang-undangan
dan peribadatan. Karena dengan pemerintahan Islam yang terus-menerus meluaskan
wilayah, di mana masing-masing wilayah baru memiliki kebiasaan-kebiasaan dan
tradisi-tradisi yang sangat berbeda dengan orang-orang Arab pedalaman dan
orang-orang yang “menyaksikan pewahyuan”, maka konflik-konflik dengan mudah
muncul antara perintah lama dan yang baru.[7]
Dari
keterangan di atas dapat dipahami bahwa jika seseorang (muslim) mampu memahami
Islam secara jelas, benar dan menyeluruh, maka Islam akan menjadi rahmat bagi
seluruh umat manusia dan alam semesta, Islam menjadi jalan penyelamatan,
pembebasan, perdamaian, ilmu dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat
kelak.
DAFTAR
PUSTAKA
Iskandar, Usman. 1994. Istihsan
dan Pembaharuan Hukum Islam.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syafi’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul
Fiqih. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Hanafi. 1993. Ushul Fiqih. Jakarta:
Widjaya.
Basyir, Ahmad Azhar, dkk. 1988. Ijtihad
dalam Sorotan. Bandung: Mizan.
Saiban Kasuwi. 2005. Metode
Ijtihad Ibnu Rusyd sebuah Solusi Pembentukan Hukum Fiqih Kontemporer. Malang:
Kutub Minar.
Juhdi, Mashfuk. 1981. Ijtihad dan
Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah. Surabaya: Bina Ilmu.
KHE. Abdurrahman. 1990. Menempatkan
Hukum dalam Agama. Bandung: Sinar Baru.
-----------------------1990. Perbandingan
Madzhab. Bandung: Sinar Baru.
Yahya, Mukhtar. 1996. Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Fiqih Islami. Bandung: Al-Maarif.
Daudi, Ahmad. 1986. Kuliah
Filsafat Islam. jakarta: Bulan Bintang.
Jahya, H.M. Zurkani. 1998. Teologi
Al-Ghazali, Pendekatan Metodologi. Jakarta: CV. Rajawali.
Ma;arif, Ahmad Syafi’i. 1993. Peta
Bumi Intelektual Islam Indonesia. Bandung: mizan.
Madjid, Nurcholish. 1984. Khazanah
Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1982. Pembaruan
dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
‘uways, Abd. Halim. 1998. Al-Fiqih
al-islami bayn ath Tathwwur wa ats-Tsabit. Terjemahan A. Zarkasyy Chumaidy
dengan judul “Fiqih Statis Dinamis”. Cet.1. bandung: Pustaka Hidayah.
[1] Lihat Hadis riwayat Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz III. Yaitu hadits
tentang diutusnya Muaz bin Jabal oleh Rasulullah Ke Yaman.
[6] Harun Nasution.”ijtihad, sumber ketiga ajaran islam” dalam Ijtihad dalam
Sorotan.Op. Cit. hal.108.
[7] Annemarie
Schimel, Introduction to Islam, diterjemahkan oleh M. Chafrul Annam
dengan judul “Islam Interpretatif’, Cet. I ; (t.tp: Inisiasi Press, 2003), hal.
73.