Jumat, 05 September 2014

IKTILAF AL HADIS



IKHTILAF AL – HADIS
Oleh :  M. Asran F. Dirun
Makalah disampaikan pada kuliah Ulum al Hadis
dengan Dosen Pembina Prof.Dr.Ahmad Khairuddin,M,Ag
IAIN Palangka Raya

BAB I
P E N D A H U L U A N
Keyword : Kaidah, Ikhtilaf al hadis
A.      Latar Belakang
Satu-satunya Warisan yang ditinggalkan Nabi Muhammad saw kepada umatnya dan apabila berpegang kepadanya maka tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Al-Quran dan sunnah (hadis)[1]. Al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama, setelah itu baru sunnah sebagai sumber hukum yang kedua.
Sunnah bisa diartikan suatu perjalanan yang diikuti, baik dinilai perjalanan baik atau perjalanan buruk. Sebagaimana dalam musnad Ahmad, bab musnad Abi Hurairah 29, juz 22, halaman 365 dengan nomor hadis 10834,[2] “Barangsiapa yang membuat suatu jalan (sunnah) yang buruk kemudian diikutinya maka atasnya dosa dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun dan barangsiapa yang membuat suatu jalan kebaikan, kemudian diikuti orang maka baginya pahalanya dan sama dengan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sementara menurut muhadisin sunnah sama dengan hadis, yaitu segala perkataan Nabi saw, perbuatannya dan segala tingkah lakunya.[3],
Sunnah Nabi saw adalah pedoman yang harus diikuti oleh umat Islam setelah Al-Quran. Hal ini terdapat dalam Al-Quran surah al-Nisa ayat 59 yang mana Allah menggunakan kata Athi’u Allah dan Athi’u al rasul, yaitu berupa ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada rasul. Ketaatan ini merupakan syarat keabsahan iman seseorang dengan menerima ketetapan Rasul saw dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikitpun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun sesudahnya.[4] Sunnah juga berfungsi menjelaskan hal-hal yang bersifat umum, khusus, menetapkan hukum yang ada di dalam Al-Quran. Dengan kata lain sunnah berfungsi untuk membantu kita dalam hal memahami dan menjalani isi Al-Quran.
Namun demikian sunnah bukannya tidak mengalami kendala atau permasalahan sama sekali dalam aplikasinya, bahkan di dalam sunnah secara lahiriah ada terdapat suatu pertentangan atau bertolak belakang dengan Al-Quran atau dengan sunnah itu sendiri. Contoh sunnah Nabi saw dalam tata cara minum, beliau melarang minum sambil berdiri, tetapi dalam riwayat lain beliau pernah minum sambil berdiri pada saat melaksanakan haji. Pertentangan itu bukan disebabkan kesalahan dari Allah SWT atau Nabi Muhammad saw, tetapi lebih disebabkan oleh cara pandang atau pemahaman kita yang keliru dalam memaknainya.
Oleh sebab itu penulis merasa tertarik untuk mendalami mengenai permasalahan-permasalahan di atas, khususnya tentang Ikhtilaf al Hadis, sehingga bisa ditemukan solusinya dengan tidak mengabaikan sunnah-sunnah yang lain.
B.        Rumusan Masalah
Agar pembahasan dalam makalah ini lebih fokus perlu dirumuskan permasalahannya, sebagai berikut :
1.    Apakah yang di maksud dengan kaidah ikhtilaf al hadis?
2.    Bagaimana  penyelesaian ikhtilaf al hadis?
C.      Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada kita betapa pentingnya sebuah sunnah (hadis) Nabi Muhammad saw bagi umat Islam untuk memahami dan memaknai isi Al-Quran secara benar.
D.      Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah library research, yaitu menggali dari bahan-bahan kepustakaan yang kemudian dianalisis sesuai dengan kenyataan yang ada.
BAB II
P E M B A H A S A N
A.      Definisi Kaidah Ikhtilaf al Hadis
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999), kaidah adalah rumusan asas-asas yang menjadi hukum, aturan yang sudah pasti, patokan.[5] Sedangkan Ikhtilaf  atau mukhtalif  merupakan bentuk isim fa’il, yaitu dari kata ikhtalafa-yakhtalifu-ikhtilaf, yang artinya berselisih atau bertentangan.[6] 
Menurut al-Nawawi sebagaimana dikutif oleh al-Suyuti dalam Yusqi, hadis-hadis Mukhtalif adalah dua buah hadis yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya (namun makna sebenarnya bukanlah bertentangan), untuk mengetahui makna sebenarnya keduanya dikompromikan atau ditarjih (untuk mengetahui mana yang kuat di antara keduanya).[7] Sementara menurut al-Thahawiy adalah dua buah hadis yang sama-sama berkategori maqbul yang saling bertentangan secara lahiriah dan memungkinkan penyelesaiannya dengan mengkompromikan antara keduanya secara wajar.[8]
Sedangkan pemahaman penulis cenderung sama dengan al-Thahawiy dengan kalimat, dua buah hadis yang sama-sama berkualitas sahih atau hasan (maqbul) yang secara lahiriah nampak saling bertentangan satu sama lainnya dapat diselesaikan dengan metode kompromi (jama’), naskh, tarjih, ta’wil dan al-tawaqquf
B.       Penyelesaian Ikhtilaf al Hadis
Kalau kita lihat dalam sejarah, pada abad ke dua sampai ketiga hijriyah, ilmu mukhtalif al-hadis ini hanyalah sebatas ilmu praktis. Yaitu dengan menyelesaikan hadis mukhtalif pada tataran praktik saja, belum merupakan suatu teori yang bisa dipakai secara tertulis. Setelah Imam al-Syafi’i yang nama lengkapnya Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Usman al-Syafi’i membuka lembaran baru sejarah perkembangannya dari yang sebelumnya tidak tertulis menjadi tertulis, yakni dengan menuangkan metode penyelesaian hadis-hadis mukhtalifnya dalam sebuah karya Ikhtilaf al-Hadis  dan dalam Kitab al-Risalah.
Ada beberapa hal yang menyebabkan hadis-hadis nabi nampak saling bertentangan[9], yaitu
1.      Faktor internal hadis, yakni menyangkut internal redaksi teks hadis yang memang terkesan bertentangan. Jika kontradiksi ini benar-benar terjadi, maka biasanya hadis tersebut ada ‘Illat (cacat) yang menyebabkan hadis tersebut menjadi Da’if (lemah). Dalam hal ini jelas bahwa hadis yang lemah harus ditolak terutama ketika bertentangan dengan hadis sahih.
2.      Faktor eksternal, yakni faktor yang disebabkan oleh di mana Nabi saw menyampaikan hadis (waktu dan tempat) dan kepada siapa beliau berbicara. Biasanya hadis-hadis yang tampak bertentangan seperti ini masih bisa dikompromikan dan diletakan sesuai konteks masing-masing, sehingga kedua-duanya bisa diamalkan.
3.      Faktor metodologi, yakni berkaitan dengan proses dan cara seseorang memahai hadis tersebut. Ada sebagian hadis dianggap bertentangan dengan hadis lain atau dengan akal (ilmu pengetahuan), karena hadis tersebut dipahami secara tekstual, padahal jika hadis tersebut dipahami secara kontekstual, maka kesan pertentangan itu akan hilang.
4.      Faktor ideologi, yakni berkaitan dengan ideologi atau mazhab seseorang ketika memahami suatu hadis. Suatu hadis dinilai bertentangan dengan hadis atau ayat tertentu yang menjadi dasar ideologi mazhab atau alirannya. Solusinya yaitu dengan mengumpulkan hadis-hadis secara tematik lalu dianalisis, sehingga menghasilkan kesimpulan yang relatif lebih objektif dan intersubjektif.
Secara umum ulama hadis merumuskan penyelesaian hadis-hadis mukhtalif  ke dalam empat metode[10], yaitu :
1.      Metode al-Jam’u wa al-Taufiq
Yaitu menggabungkan atau mengkompromikan dua hadis yang tampak bertentangan. Metode ini digunakan untuk hadis-hadis yang sama-sama berkualitas sahih. Metode ini lebih baik ketimbang melakukan tarjih, karena dalam kaidah fikih dikatakan bahwa ‘imaal al qawl khairun min ihmaalihi (mengamalkan suatu ucapan atau sabda itu lebih baik dari pada membiarkannya untuk tidak diamalkan).
Sebagaimana hadis riwayat al-Syafi’i tentang cara wudhu Rasulullah saw, hadis pertama menyatakan bahwa Nabi saw berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya serta mengusap kepala satu kali :
حدثنا محمد بن يوسف قال حدثنا سفيان عن زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن ابن عباس قال
 : توضأ النبي صلى الله عليه و سلم مرة مرة[11]
 Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya serta mengusap kepala satu kali satu kali (HR. Al-Syafi’i). Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi saw berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya serta mengusap kepala tiga kali :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ - وَاللَّفْظُ لِقُتَيْبَةَ وَأَبِى بَكْرٍ - قَالُوا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَبِى النَّضْرِ عَنْ أَبِى أَنَسٍ أَنَّ عُثْمَانَ تَوَضَّأَ بِالْمَقَاعِدِ فَقَالَ أَلاَ أُرِيكُمْ وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا. وَزَادَ قُتَيْبَةُ فِى رِوَايَتِهِ قَالَ سُفْيَانُ قَالَ أَبُو النَّضْرِ عَنْ أَبِى أَنَسٍ قَالَ وَعِنْدَهُ رِجَالٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم[12]
 dari  Utsman Ibn Affan bahwa Nabi saw berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap). Kedua riwayat di atas tampak bertentangan dan sama-sama hadis sahih. Imam al-Syafi’i berkata : hadis-hadis tersebut tidak bisa dikatakan sebagai hadis yang kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya serta mengusap kepala satu kali sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam membasuh wajah, kedua tangan serta mengusap kepala).[13]
Hadis pertama : لاَتسْتَقْبِلُوا القِبْلَلةَ بِغَا ئِطٍ وَلاَبَوْلٍ . Rasulullah saw bersabda “ Janganlah kalian menghadap kiblat saat membuang air besar dan membuang air kecil (HR.al-Baihaqi). Hadis kedua :
   ذُكِرَلِرَسُولِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ اَن قَوْماً يَكْرَهُوْنَ ان يَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ بِغَا ئِطٍ اَوْبَوْلٍ
 فأَمَرَ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَليهِ بِخَلَا ئِهِ فَسْتُقْبَلَ بِهِ القِبْلَةَ
Artinya : Dikemukakan kepada Rasulullah bahwa ada suatu kaum yang tidak suka menghadap kiblat saat membuang air besar dan air kecil, lalu Nabi Muhammad saw memerintahkannya di tempat buang hajatnya (WC) dengan tetap menghadap kiblat. (HR. Imam Ahmad)[14].
Tempat yang tidak boleh menghadap kiblat bagi orang yang buang air besar dan air kecil adalah padang pasir dan al-Barahah.[15] Orang-orang Arab apabila singgah saat bepergian untuk melaksanakan shalat, maka sebagian dari mereka menghadap kiblat untuk melaksanakan sholat dan sebagian yang lain dari mereka menghadap kiblat saat buang air besar. Lalu Nabi saw memerintahkan mereka agar jangan menghadap kiblat saat buang air besar atau air kecil dalam rangka memuliakan kiblat dan mensucikan pelaksanaan sholat. Nabi Muhammad saw memerintahkan untuk buang air di tempatnya (wc) dan menghadap kiblat. Di sini Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada mereka bahwa beliau tidak membenci hal tersebut apabila dilakukan di dalam (wc) rumah-rumah dan kakus yang digali yang dapat menutupi perbuatan hadas dan tempat-tempat yang sepi, yaitu tempat-tempat yang di dalamnya tidak diperkenankan sholat.
2.    Metode al-Tarjih
Yaitu metode yang menggunakan dua dalil yang memang tidak mungkin lagi dilakukan jama’ padanya dengan mengunggulkan salah satu dari dua dalil yang tampak bertentangan. Pentarjihan tidak berlaku pada dalil yang sama-sama qat’iy atau antara dalil yang qat’iy dengan dalil yang zanni, demikian menurut Yusqi dalam bukunya.
Dalam mentarjih hadis Nabi saw, para ulama mempunyai tujuh dasar tarjih yang harus dipertimbangkan, yaitu : 1. Tarjih berdasarkan keadaan rawi hadis 2. Tarjih berdasarkan usia rawi 3. Tarjih berdasarkan tata cara periwayatan 4. Tarjih berdasarkan waktu periwayatan 5. Tarjih berdasarkan redaksi hadis 6. Tarjih berdasarkan kandungan hukum hadis 7. Tarjih berdasarkan unsur-unsur eksternal teks hadis.[16]
Contoh hadis pertama :
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ عَامِرٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَائِدَةُ وَالْمَوْءُودَةُ فِي النَّارِ
قَالَ يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا قَالَ أَبِي فَحَدَّثَنِي أَبُو إِسْحَقَ أَنَّ عَامِرًا حَدَّثَهُ بِذَلِكَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(Abu Daud - 4094) : Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa Ar Razi berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah ia berkata; telah menceritakan kepadaku Bapakku dari Amir ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wanita yang mengubur anaknya hidup-hidup dan yang dikubur masuk ke dalam neraka." Yahya bin Zakariya berkata; Bapakku berkata; Abu Ishaq menceritakan kepadaku bahwa Amir menceritakan hal itu kepadanya, dari Alqamah, dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam."[17]
 Konteks munculnya hadis tersebut adalah Salamah ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah saw seraya bertanya, Wahai Rasul, sesungguhnya saya percaya Malikah itu dulu orang yang suka menyambung silaturahmi, memuliakan tamu, tapi ia meninggal dalam keadaan jahiliyah (belum sempat masuk Islam). Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi saw menjawab : tidak. Kami berkata : dulu ia pernah mengubur saudara perempuanku hidup-hidup di jaman jahiliyah. Apakah amal kebaikannya akan bermanfaat baginya? Nabi saw menjawab : orang yang mengubur anak perempuan hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di neraka, kecuali perempuan yang menguburkannya itu kemudian masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Nasa’i dengan nilai hadis hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir.[18] Kalau kita lihat hadis tersebut sangat janggal dan bertentangan dengan Al-Quran surah al-Takwir ayat 8-9, yang artinya “dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh”. Ayat ini menanyakan dosa apa yang dilakukan seorang bayi hingga ia dibunuh, bukankah bayi (anak kecil) dalam keadaan suci. Hadis di atas juga bertentangan dengan hadis yang lain yang lebih kuat nilainya, bunyi hadisnya : Nabi saw pernah ditanya oleh paman Khansa, anak perempuan Mua’wiyah al Sharimiyyah, Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab Nabi saw akan masuk surga, orang mati syahid juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga (HR.Ahmad), oleh sebab itu hadis itu harus ditolak, meskipun sanadnya hasan.
3.      Metode Nasikh-Mansukh
Apabila metode tarjih tidak mungkin dilakukan, maka para ulama menempuh metode nasakh-mansukh, yaitu menghapus hukum syara’ dengan hukum syara’ yang datang kemudian. Imam Hanafi dalam menyelesaikan ikhtilaf al hadis, agak berbeda dengan Imam Syafi’i. Ia lebih mendahulukan nasakh, karena nasakh itu merupakan hak prerogatif Allah SWT, bukan hasil ijtihad seorang mujtahid seperti jama’ dan tarjih.[19] Dengan mengamalkan dalil yang menasakh dan meninggalkan dalil yang dinasakh. Namun perlu diingat bahwa proses nasakh dalam hadis hanya terjadi di saat Nabi saw masih hidup, karena pembentukan syariat sedang berproses dan yang berhak menghapus ketentuan hukum syara’ hanyalah Allah dan Rasulullah saw.
Contoh penyelesaian nasakh-mansukh adalah hadis tentang nikah mut’ah, yang dulunya banyak dilakukan oleh orang Arab :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ الْحَسَنِ
وَعَبْدِ اللَّهِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيٍّ
أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يُلَيِّنُ فِي مُتْعَةِ النِّسَاءِ
(Muslim – 2512) : Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Ubaidullah dari Ibnu Syihab dari Al Hasan dan Abdullah bin Muhammad bin Ali dari ayahnya dari Ali bahwa dia telah mendengar Ibnu Abbas lunak (mengizinkan) dalam nikah mut'ah …[20]
Yang kemudian dihapus oleh hadis :
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ
عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ
وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ
(Bukhari - 3894) : Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Qaza'ah telah menceritakan kepada kami Malik dari Ibnu Syihab dari Abdullah dan Al Hasan, dua anak Muhammad bin 'Ali dari Bapak keduanya dari 'Ali bin Abu Thalib radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang nikah mut'ah (perkawinan dengan waktu terbatas semata untuk bersenang-senang) dan melarang makan daging keledai jinak pada perang Khaibar." [21]
Contoh nasikh dan mansuk yang kedua adalah tentang hukum rajam dengan hadis
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَفِظْنَاهُ مِنْ فِي الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي
عُبَيْدُ اللَّهِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ وَزَيْدَ بْنَ خَالِدٍ قَالَا
كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلَّا قَضَيْتَ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ فَقَامَ خَصْمُهُ وَكَانَ أَفْقَهَ مِنْهُ فَقَالَ اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَأْذَنْ لِي قَالَ قُلْ قَالَ إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَخَادِمٍ ثُمَّ سَأَلْتُ رِجَالًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ وَعَلَى امْرَأَتِهِ الرَّجْمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ الْمِائَةُ شَاةٍ وَالْخَادِمُ رَدٌّ عَلَيْكَ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا
قُلْتُ لِسُفْيَانَ لَمْ يَقُلْ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي الرَّجْمَ فَقَالَ الشَّكُّ فِيهَا مِنْ الزُّهْرِيِّ فَرُبَّمَا قُلْتُهَا وَرُبَّمَا سَكَتُّ
(Bukhari - 6326) : Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin Abdullah telah menceritakan kepada kami Sufyan mengatakan, kami menghapalnya dari orang yang berada di majlis Az Zuhri mengatakan, telah mengabarkan kepadaku Ubaidullah ia mendengar Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid mengatakan; Kami disisi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba seorang laki-laki datang dan berujar; 'Saya bersumpah atas nama Allah kepadamu, putuskanlah perkara diantara kami dengan kitabullah.' Lantas berdirilah lawan sengketanya yang lebih faqih dari dia dan berkata; 'Putuskanlah diantara kami dengan kitabullah, dan izinkanlah aku untuk bicara." Nabi berkata; "bicaralah". Lanjutnya; 'Anakku menjadi pekerja laki-laki ini, kemudian anakku berzina dengan isterinya, maka aku menebusnya dengan seratus ekor kambing dan satu pembantu, kemudian aku bertanya kepada beberapa ahli ilmu, mereka mengabariku bahwa anakku berkewajiban didera seratus kali dan diasingkan selama setahun, sedang isterinya harus dirajam.' Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, aku akan memutuskan diantara kalian dengan kitabullah yang agung sebutan-Nya. seratus ekor unta dan pembantu dikembalikan kepadamu, anakmu di cambuk sebanyak seratus kali dan disaingkan selama setahun, dan pergilah Unais Al Aslami ke istri orang ini, jikau dia mengakuinya, maka rajamilah dia." Unais akhirnya pergi menemui istri orang tersebut, dan dia mengakuinya, maka ia merajamnya.' Saya bertanya kepada Sufyan; apakah dia tidak berkata; 'mereka mengabariku bahwa anakku terkena rajam? ' Sufyan menjawab; 'keraguanku itu berasal dari Az Zuhri, maka terkadang saya katakan dan terkadang saya tinggalkan'[22]
 tentang hukum rajam yang pernah dilakukan sebelum turunnya Surah al-Nur ayat 2, yang artinya( Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman). Dan dalam surah al-Nisa ayat 25 yang artinya (... dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami... ). Komentar mengenai ini bahwa hukum rajam adalah melenyapkan jiwa dan ia tidak dapat dilakukan separo.[23]Seperti hadis berikut ini : “Abdul Malik bin Shu'aib bin al-Laith bin Sa'd menceritakan kepadaku (Imam Muslim), ia menerima dari Ayahnya, ayah menerima dari Kakekku. Kakekku berkata bahwa ia menerimanya dari 'Uqail yang diterima dari Ibn Shihâb dari Abî Salamah bin'Abd al-Rahmân bin 'Auf dan Sa'id bin al-Musayyab dari Abî Hurairah mengatakan bahwa ada seorang lali-laki Muslim datang kepada Rasulullah SAW sedangkan pada saat itu beliau berada di masjid. Laki-laki tersebut memanggil Rasul seraya berkata:"Wahai Rasulullah sungguh aku telah berzina. Lalu Nabi memalingkan wajahnya. Kemudian laki-laki itu berpindah ke arah hadapan Rasul setelah berpaling dan mengatakan lagi: "Wahai Rasul sungguh aku telah berzina, Nabipun berpaling lagi, dan laki-laki tersebut juga berpindah ke hadapan Rasul setelah berpaling sampai empat kali. Nabipun lalu bertanya: apakah kamu gila? Laki-laki itu menjawab: "tidak wahai Rasulullah." Kemudian Rasul bertanya: "apakah kamu muhsân (sudah nikah)? Laki-laki tersebut menjawab: "ya". Setelah itu Rasulullah memerintahkan kepada para sahabat
untuk melakukan hukuman rajam"…
     Pada pelaksanaan hukum rajam di atas tidak diketahui secara pasti, apakah hukum rajam itu dilakukan sebelum atau sesudah surah al-Nisa ayat 2 turun. Hal ini bisa kita lihat pada riwayat Imam al-Bukhâri : Telah menceritakan kepadaku (Imam al-Bukhari) Musa ibn Ismail, ia mengatakan bahwa Abd al-Wahid telah mengatakan kepadaku yang ia terima dari Syaibani di mana ia mengatakan: “Saya bertanya kepada Abdullah ibn Abi Aufa mengenai rajam, maka iapun kemudian menjawab: “Nabi telah melakukannya”. Kemudian aku bertanya lagi kepadanya: “apakah hal tersebut terjadi sebelum atau sesudah diturunkannya surah Al-Nur ? Ia menjawab: “Aku tidak tahu”. Riwayat serupa ditemukan oleh Ali ibn Masyhar, Khalid ibn Abdullah dan Ubaidullah ibn Khumaid dari Syaibani. Sementara Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa pelaksanaan rajam pada masa Nabi tersebut terjadi sebelum diturunkannya Surat Al-Nur.[24] Melihat kenyataan historis tersebut, tentunya siapapun orangnya pasti berkeinginan akan menjadikan al-Qur’an sebagai acuan pertama yakni dengan mengacu pada Surah al-Nur (24) : 2 tersebut daripada memberlakukan hadis yang tidak diketahui dimensi waktu pelaksanaannya. Dari kenyataan sejarah ini jelas dapat dipahami mengapa Nabi Muhammad melaksanakan hukum yang ada dalam kitab Taurat itu terhadap orang Yahudi dan juga terhadap orang Islam. Namun setelah ayat tentang hukum bagi pezina telah diturunkan, maka Nabi tidak lagi menghukum rajam kepada orang Islam. Hal ini dikarenakan dalam ayat tersebut disebutkan bahwa bagi mereka yang berzina (baik laki-laki maupun perempuan, muhsân atau ghair muhsân) hukumannya adalah deraan seratus kali.[25]
4.      Metode Ta’wil
Metode ini salah satu alternatif baru dalam menyelesaikan hadis-hadis yang tampak bertentangan. Sebagai contoh hadis tentang lalat,
  حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُتْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ بْنُ حُنَيْنٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ
ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
(Bukhari - 3073) : Telah bercerita kepada kami Khalid bin Makhlad telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal berkata; telah bercerita kepadaku Utbah bin Muslim berkata; telah mengabarkan kepadaku Ubaid bin Hunain berkata; saya mendengar Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika ada seekor lalat yang terjatuh pada minuman kalian maka tenggelamkan kemudian angkatlah, karena pada satu sayapnya penyakit dan sayap lainnya terdapat obatnya."[26]
 Hadis ini dinilai kontradiktif dengan akal dan teori kesehatan. Sebab lalat merupakan serangga yang berbahaya dan bisa menyebarkan penyakit. Lalu bagaimana mungkin Nabi saw menyuruh supaya menenggelamkan lalat yang hinggap diminuman?
Selintas hadis tersebut memang tidak masuk akal, tetapi seiring dengan majunya ilmu pengetahuan, para peneliti Muslim di Mesir dan Saudi Arabia membuktikan lain. Mereka membuat minuman air, madu dan juice yang dimasukan ke dalam bejana yang dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat. Setelah lalat masuk ke dalam beberapa minuman tersebut, mereka melakukan komparasi penelitian, antara minuman yang lalat dibenamkan di dalamnya dan yang tidak dibenamkan dalamnya. Ternyata melalui pengamatan mikroskup diperoleh hasil bahwa minuman yang dihinggapi lalat dan tidak dibenamkan ke dalamnya dipenuhi dengan kuman dan mikroba. Sementara minuman yang dibenamkan lalat di dalamnya justru tidak dijumpai sedikitpun.[27]
5.      Metode Tawaqquf
Yaitu menghentikan atau mendiamkan dengan tidak mengamalkan hadis yang tidak bisa diselesaikan sampai ditemukannya keterangan, hadis mana yang bisa diamalkan. Misalnya pada hadis tentang lalat di atas untuk sementara waktu (pada saat munculnya hadis tersebut) tidak diamalkan karena bertentangan dengan akal dan teori kesehatan.
BAB III
P E N U T U P
A.      Kesimpulan
dari uraian penulis di atas, ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil, yaitu :
1.      Hadis mukhtalif adalah dua buah hadis yang sama-sama berkualitas sahih atau hasan (maqbul) yang secara lahiriah nampak saling bertentangan satu sama lainnya dan dapat diselesaikan dengan metode kompromi (jama’), naskh, tarjih, ta’wil, al-tawaqquf. Namun demikian ketika kita menemukan dua buah hadis yang tampak bertentangan kita jangan terburu-buru menolak hadis tersebut sebelum benar-benar melakukan verifikasi secara mendalam.
2.      Paling tidak ada 5 metode yang bisa digunakan dalam menyelesaikan ikhtilaf al-hadis, yaitu metode kompromi (jama’), naskh, tarjih, ta’wil, al-tawaqquf.
B.       Saran
Disarankan kepada kita  agar senantiasa taat kepada Allah dan Rasulnya dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan pahamilah hadis-hadis Nabi sesuai dengan kaidah ilmunya dengan tidak menyalahkan orang lain dalam aplikasinya, agar terwujud masyarakat yang aman, damai dan sejahtera di bawah lindungan dan rida Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Khon, Abdul Majid,  Ulumul Hadis, Jakarta, Amzah, 2009.
Mustaqim, H. Abdul, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi, Yogyakarta, IDEA Press, 2008.
Nizar Ali, Rekonstruksi Hukum Rajam dalam Perspektif Hadis Nabi, file pdf didownload pada tgl 06/04/2014 pukul 08.51 WIB.
Qutaibah, Ibnu Imam, Ta’wil Hadits-Hadits yang Dinilai Kontradiktif, Jakarta, Pustaka Azzam, 2008.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran, Bandung, Mizan, 2013.
Softwere Kutubu Tis’ah ( Hadis 9 Imam)
Softwere Maktabah Syamilah.
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1999.
Yusqi, Moh. Ishom, Metodologi Penyelesaian Hadits Kontradiktif,  Jakarta, Sukses Bersama 2010.


Daftar Pertanyaan Dan Perbaikan Makalah
1.      Bu Endang : penjelasan hadis tentang lalat dibuatkan hadisnya.
2.      Bu Sri Muliati : pelaksanaan hukum rajam dilengkapi dengan hadisnya.
3.      Penyebab terjadinya ikhtilaf al hadis disertai dengan contoh.
4.      Siapa saja yang dapat menyelesaikan hadis ikhtilaf.
5.      Bu Hartati tentang nikah batin
6.      Hadis tentang perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup






[1] Lihat kitab Muwatha Malik juz 5 hal.1323 dengan nomor hadis 3338.
[2] Lihat softwere maktabah syamilah dengan keyword man sanna sunnata.
[3] Khon, Ulumul Hadis, Amzah, 2009, h.6.
[4] Shihab, Membumikan AL-Quran, Mizan, 2013, h. 187.
[5] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia cet.X, Balai Pustaka, 1999, h. 430.
[6] Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi, Idea Press, 2008, h. 84.
[7] Yusqi, Metodologi PenyelesaianHadits Kontradiktif, Sukses Bersama, 2010, h. 138.
[8] Yusqi, Metodologi PenyelesaianHadits Kontradiktif, Sukses Bersama, 2010, h. 138.
[9] Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi, Idea Press, 2008, h. 87.
[10] Yusqi, Metodologi PenyelesaianHadits Kontradiktif, Sukses Bersama, 2010, h. 140.
[11] Kitab Shahih Bukhari No. 156 bab wudhu juz 1 h. 70.
[12] Kitab Shahih Muslim no. 567  bab wudhu dan sholat juz 1 h. 142.
[13] Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi, Idea Press, 2008, h. 90.
[14] Qutaibah, Ta’wil Hadits-Hadits yang Dinilai Kontradiktif, Pustaka Azzam, 2008, h. 156.
[15] Al-Barahah adalah tempat-tempat yang tidak ada pohon dan tanamannya.
[16] Yusqi, Metodologi PenyelesaianHadits Kontradiktif, Sukses Bersama, 2010, h. 141.
[17] Lihat softwere kitab 9 Imam dengan keyword الْوَائِدَةُ
[18] Shalahuddin al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn, h. 265.
[19] Yusqi, Metodologi PenyelesaianHadits Kontradiktif, Sukses Bersama, 2010, h. 143.

[20] Softwere kitab 9 Imam dengan keyword mut’ah
[21] Softwere kitab 9 Imam dengan keyword nikah mut’ah
[22] Softwere kitab 9 Imam dengan keyword rajam.
[23] Qutaibah, Ta’wil Hadits-Hadits yang Dinilai Kontradiktif, Pustaka Azzam, 2008, h. 322.
[24] Lihat Maulana Muhammad Ali, The Holy Qur’an. Edisi terjemahan (Jakarta : Dar al-Kutub al-
Islamiyyah, 1986), p. 886.
[25] Nizar Ali, Rekonstruksi Hukum Rajam dalam Perspektif Hadis Nabi, file pdf didownload pada tgl 06/04/2014 pukul 08.51 WIB.
[26] Softwere hadis 9 Imam dengan keyword lalat.
[27] Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi, Idea Press, 2008, h. 100.