IKHTILAF AL – HADIS
Oleh : M. Asran F. Dirun
Makalah disampaikan pada kuliah Ulum al
Hadis
dengan Dosen Pembina Prof.Dr.Ahmad
Khairuddin,M,Ag
IAIN Palangka Raya
BAB
I
P
E N D A H U L U A N
Keyword :
Kaidah, Ikhtilaf al hadis
A. Latar Belakang
Satu-satunya
Warisan yang ditinggalkan Nabi Muhammad saw kepada umatnya dan apabila
berpegang kepadanya maka tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Al-Quran dan
sunnah (hadis)[1].
Al-Quran merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama, setelah itu baru
sunnah sebagai sumber hukum yang kedua.
Sunnah
bisa diartikan suatu perjalanan yang diikuti, baik dinilai perjalanan
baik atau perjalanan buruk. Sebagaimana dalam musnad Ahmad, bab musnad Abi
Hurairah 29, juz 22, halaman 365 dengan nomor hadis 10834,[2]
“Barangsiapa yang membuat suatu jalan (sunnah) yang buruk kemudian diikutinya
maka atasnya dosa dan dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka
sedikitpun dan barangsiapa yang membuat suatu jalan kebaikan, kemudian diikuti
orang maka baginya pahalanya dan sama dengan pahala orang yang mengikutinya
tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sementara menurut muhadisin sunnah
sama dengan hadis, yaitu segala perkataan Nabi saw, perbuatannya dan segala
tingkah lakunya.[3],
Sunnah
Nabi saw adalah pedoman yang harus diikuti oleh umat Islam setelah Al-Quran. Hal
ini terdapat dalam Al-Quran surah al-Nisa ayat 59 yang mana Allah menggunakan
kata Athi’u Allah dan Athi’u al rasul, yaitu berupa ketaatan kepada Allah dan
ketaatan kepada rasul. Ketaatan ini merupakan syarat keabsahan iman seseorang
dengan menerima ketetapan Rasul saw dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa
sedikitpun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum
maupun sesudahnya.[4] Sunnah juga
berfungsi menjelaskan hal-hal yang bersifat umum, khusus, menetapkan hukum yang
ada di dalam Al-Quran. Dengan kata lain sunnah berfungsi untuk membantu kita
dalam hal memahami dan menjalani isi Al-Quran.
Namun
demikian sunnah bukannya tidak mengalami kendala atau permasalahan sama sekali
dalam aplikasinya, bahkan di dalam sunnah secara lahiriah ada terdapat suatu
pertentangan atau bertolak belakang dengan Al-Quran atau dengan sunnah itu
sendiri. Contoh sunnah Nabi saw dalam tata cara minum, beliau melarang minum
sambil berdiri, tetapi dalam riwayat lain beliau pernah minum sambil berdiri
pada saat melaksanakan haji. Pertentangan itu bukan disebabkan kesalahan dari
Allah SWT atau Nabi Muhammad saw, tetapi lebih disebabkan oleh cara pandang
atau pemahaman kita yang keliru dalam memaknainya.
Oleh
sebab itu penulis merasa tertarik untuk mendalami mengenai
permasalahan-permasalahan di atas, khususnya tentang Ikhtilaf al Hadis,
sehingga bisa ditemukan solusinya dengan tidak mengabaikan sunnah-sunnah yang
lain.
B. Rumusan
Masalah
Agar
pembahasan dalam makalah ini lebih fokus perlu dirumuskan permasalahannya,
sebagai berikut :
1. Apakah
yang di maksud dengan kaidah ikhtilaf al hadis?
2. Bagaimana penyelesaian ikhtilaf al hadis?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman kepada kita betapa
pentingnya sebuah sunnah (hadis) Nabi Muhammad saw bagi umat Islam untuk
memahami dan memaknai isi Al-Quran secara benar.
D. Metode Penulisan
Metode
yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah library research,
yaitu menggali dari bahan-bahan kepustakaan yang kemudian dianalisis sesuai
dengan kenyataan yang ada.
BAB
II
P
E M B A H A S A N
A. Definisi Kaidah Ikhtilaf al Hadis
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999), kaidah adalah rumusan asas-asas yang
menjadi hukum, aturan yang sudah pasti, patokan.[5]
Sedangkan Ikhtilaf atau mukhtalif
merupakan bentuk isim fa’il, yaitu
dari kata ikhtalafa-yakhtalifu-ikhtilaf, yang artinya berselisih atau
bertentangan.[6]
Menurut
al-Nawawi sebagaimana dikutif oleh al-Suyuti dalam Yusqi, hadis-hadis Mukhtalif
adalah dua buah hadis yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya (namun
makna sebenarnya bukanlah bertentangan), untuk mengetahui makna sebenarnya
keduanya dikompromikan atau ditarjih (untuk mengetahui mana yang kuat di
antara keduanya).[7] Sementara
menurut al-Thahawiy adalah dua buah hadis yang sama-sama berkategori maqbul yang
saling bertentangan secara lahiriah dan memungkinkan penyelesaiannya dengan
mengkompromikan antara keduanya secara wajar.[8]
Sedangkan
pemahaman penulis cenderung sama dengan al-Thahawiy dengan kalimat, dua buah
hadis yang sama-sama berkualitas sahih atau hasan (maqbul) yang secara lahiriah
nampak saling bertentangan satu sama lainnya dapat diselesaikan dengan metode
kompromi (jama’), naskh, tarjih, ta’wil dan al-tawaqquf
B. Penyelesaian Ikhtilaf al Hadis
Kalau
kita lihat dalam sejarah, pada abad ke dua sampai ketiga hijriyah, ilmu mukhtalif
al-hadis ini hanyalah sebatas ilmu praktis. Yaitu dengan menyelesaikan
hadis mukhtalif pada tataran praktik saja, belum merupakan suatu teori yang
bisa dipakai secara tertulis. Setelah Imam al-Syafi’i yang nama lengkapnya
Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Usman al-Syafi’i membuka lembaran baru
sejarah perkembangannya dari yang sebelumnya tidak tertulis menjadi tertulis,
yakni dengan menuangkan metode penyelesaian hadis-hadis mukhtalifnya dalam
sebuah karya Ikhtilaf al-Hadis dan dalam Kitab al-Risalah.
Ada
beberapa hal yang menyebabkan hadis-hadis nabi nampak saling bertentangan[9],
yaitu
1. Faktor
internal hadis, yakni menyangkut internal redaksi teks hadis yang memang
terkesan bertentangan. Jika kontradiksi ini benar-benar terjadi, maka biasanya
hadis tersebut ada ‘Illat (cacat) yang menyebabkan hadis tersebut
menjadi Da’if (lemah). Dalam hal ini jelas bahwa hadis yang lemah harus
ditolak terutama ketika bertentangan dengan hadis sahih.
2. Faktor
eksternal, yakni faktor yang disebabkan oleh di mana Nabi saw menyampaikan
hadis (waktu dan tempat) dan kepada siapa beliau berbicara. Biasanya
hadis-hadis yang tampak bertentangan seperti ini masih bisa dikompromikan dan
diletakan sesuai konteks masing-masing, sehingga kedua-duanya bisa diamalkan.
3. Faktor
metodologi, yakni berkaitan dengan proses dan cara seseorang memahai hadis
tersebut. Ada sebagian hadis dianggap bertentangan dengan hadis lain atau
dengan akal (ilmu pengetahuan), karena hadis tersebut dipahami secara tekstual,
padahal jika hadis tersebut dipahami secara kontekstual, maka kesan
pertentangan itu akan hilang.
4. Faktor
ideologi, yakni berkaitan dengan ideologi atau mazhab seseorang ketika memahami
suatu hadis. Suatu hadis dinilai bertentangan dengan hadis atau ayat tertentu yang
menjadi dasar ideologi mazhab atau alirannya. Solusinya yaitu dengan
mengumpulkan hadis-hadis secara tematik lalu dianalisis, sehingga menghasilkan
kesimpulan yang relatif lebih objektif dan intersubjektif.
Secara
umum ulama hadis merumuskan penyelesaian hadis-hadis mukhtalif ke dalam empat metode[10],
yaitu :
1. Metode
al-Jam’u wa al-Taufiq
Yaitu
menggabungkan atau mengkompromikan dua hadis yang tampak bertentangan. Metode
ini digunakan untuk hadis-hadis yang sama-sama berkualitas sahih. Metode ini
lebih baik ketimbang melakukan tarjih, karena dalam kaidah fikih dikatakan
bahwa ‘imaal al qawl khairun min ihmaalihi (mengamalkan suatu ucapan
atau sabda itu lebih baik dari pada membiarkannya untuk tidak diamalkan).
Sebagaimana
hadis riwayat al-Syafi’i tentang cara wudhu Rasulullah saw, hadis pertama
menyatakan bahwa Nabi saw berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya serta
mengusap kepala satu kali :
حدثنا محمد بن يوسف قال حدثنا سفيان عن زيد بن أسلم عن عطاء
بن يسار عن ابن عباس قال
: توضأ النبي صلى الله عليه و سلم مرة مرة[11]
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw berwudhu
membasuh wajah dan kedua tangannya serta mengusap kepala satu kali satu kali
(HR. Al-Syafi’i). Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi saw
berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya serta mengusap kepala tiga kali :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ
بْنُ سَعِيدٍ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ -
وَاللَّفْظُ لِقُتَيْبَةَ وَأَبِى بَكْرٍ - قَالُوا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ
سُفْيَانَ عَنْ أَبِى النَّضْرِ عَنْ أَبِى أَنَسٍ أَنَّ عُثْمَانَ تَوَضَّأَ
بِالْمَقَاعِدِ فَقَالَ أَلاَ أُرِيكُمْ وُضُوءَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- ثُمَّ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا. وَزَادَ قُتَيْبَةُ فِى رِوَايَتِهِ
قَالَ سُفْيَانُ قَالَ أَبُو النَّضْرِ عَنْ أَبِى أَنَسٍ قَالَ وَعِنْدَهُ رِجَالٌ
مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم[12]
dari Utsman Ibn Affan bahwa Nabi saw berwudhu
dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap). Kedua riwayat di
atas tampak bertentangan dan sama-sama hadis sahih. Imam al-Syafi’i berkata : hadis-hadis
tersebut tidak bisa dikatakan sebagai hadis yang kontradiktif. Akan tetapi bisa
dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya serta
mengusap kepala satu kali sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam
berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam membasuh wajah, kedua tangan
serta mengusap kepala).[13]
Hadis
pertama : لاَتسْتَقْبِلُوا
القِبْلَلةَ بِغَا ئِطٍ وَلاَبَوْلٍ . Rasulullah saw bersabda
“ Janganlah kalian menghadap kiblat saat membuang air besar dan membuang air
kecil (HR.al-Baihaqi). Hadis kedua :
ذُكِرَلِرَسُولِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَن قَوْماً يَكْرَهُوْنَ ان
يَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ بِغَا ئِطٍ اَوْبَوْلٍ
فأَمَرَ
النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَليهِ بِخَلَا ئِهِ فَسْتُقْبَلَ بِهِ القِبْلَةَ
Artinya
: Dikemukakan kepada Rasulullah bahwa ada suatu kaum yang tidak suka menghadap
kiblat saat membuang air besar dan air kecil, lalu Nabi Muhammad saw
memerintahkannya di tempat buang hajatnya (WC) dengan tetap menghadap kiblat.
(HR. Imam Ahmad)[14].
Tempat
yang tidak boleh menghadap kiblat bagi orang yang buang air besar dan air kecil
adalah padang pasir dan al-Barahah.[15]
Orang-orang Arab apabila singgah saat bepergian untuk melaksanakan shalat, maka
sebagian dari mereka menghadap kiblat untuk melaksanakan sholat dan sebagian
yang lain dari mereka menghadap kiblat saat buang air besar. Lalu Nabi saw
memerintahkan mereka agar jangan menghadap kiblat saat buang air besar atau air
kecil dalam rangka memuliakan kiblat dan mensucikan pelaksanaan sholat. Nabi
Muhammad saw memerintahkan untuk buang air di tempatnya (wc) dan menghadap
kiblat. Di sini Rasulullah saw ingin mengajarkan kepada mereka bahwa beliau
tidak membenci hal tersebut apabila dilakukan di dalam (wc) rumah-rumah dan
kakus yang digali yang dapat menutupi perbuatan hadas dan tempat-tempat yang
sepi, yaitu tempat-tempat yang di dalamnya tidak diperkenankan sholat.
2. Metode
al-Tarjih
Yaitu
metode yang menggunakan dua dalil yang memang tidak mungkin lagi dilakukan jama’
padanya dengan mengunggulkan salah satu dari dua dalil yang tampak
bertentangan. Pentarjihan tidak berlaku pada dalil yang sama-sama qat’iy atau
antara dalil yang qat’iy dengan dalil yang zanni, demikian menurut Yusqi
dalam bukunya.
Dalam
mentarjih hadis Nabi saw, para ulama mempunyai tujuh dasar tarjih yang harus
dipertimbangkan, yaitu : 1. Tarjih berdasarkan keadaan rawi hadis 2. Tarjih berdasarkan
usia rawi 3. Tarjih berdasarkan tata cara periwayatan 4. Tarjih berdasarkan
waktu periwayatan 5. Tarjih berdasarkan redaksi hadis 6. Tarjih berdasarkan
kandungan hukum hadis 7. Tarjih berdasarkan unsur-unsur eksternal teks hadis.[16]
Contoh hadis pertama
:
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى الرَّازِيُّ حَدَّثَنَا
ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ عَامِرٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْوَائِدَةُ وَالْمَوْءُودَةُ فِي النَّارِ
قَالَ يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا قَالَ أَبِي فَحَدَّثَنِي
أَبُو إِسْحَقَ أَنَّ عَامِرًا حَدَّثَهُ بِذَلِكَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
(Abu
Daud - 4094) : Telah
menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa Ar Razi berkata, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Abu Zaidah ia berkata; telah menceritakan kepadaku Bapakku
dari Amir ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Wanita yang mengubur anaknya hidup-hidup dan yang dikubur masuk ke dalam
neraka." Yahya bin Zakariya berkata; Bapakku berkata; Abu Ishaq
menceritakan kepadaku bahwa Amir menceritakan hal itu kepadanya, dari Alqamah,
dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam."[17]
Konteks munculnya hadis tersebut adalah
Salamah ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah saw
seraya bertanya, Wahai Rasul, sesungguhnya saya percaya Malikah itu dulu orang
yang suka menyambung silaturahmi, memuliakan tamu, tapi ia meninggal dalam
keadaan jahiliyah (belum sempat masuk Islam). Apakah amal kebaikannya itu
bermanfaat baginya? Nabi saw menjawab : tidak. Kami berkata : dulu ia pernah
mengubur saudara perempuanku hidup-hidup di jaman jahiliyah. Apakah amal
kebaikannya akan bermanfaat baginya? Nabi saw menjawab : orang yang mengubur
anak perempuan hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di neraka, kecuali
perempuan yang menguburkannya itu kemudian masuk Islam, lalu Allah
memaafkannya. Demikian hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Nasa’i dengan
nilai hadis hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir.[18]
Kalau kita lihat hadis tersebut sangat janggal dan bertentangan dengan Al-Quran
surah al-Takwir ayat 8-9, yang artinya “dan apabila bayi-bayi perempuan yang
dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh”. Ayat ini
menanyakan dosa apa yang dilakukan seorang bayi hingga ia dibunuh, bukankah
bayi (anak kecil) dalam keadaan suci. Hadis di atas juga bertentangan dengan
hadis yang lain yang lebih kuat nilainya, bunyi hadisnya : Nabi saw pernah
ditanya oleh paman Khansa, anak perempuan Mua’wiyah al Sharimiyyah, Ya Rasul,
siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab Nabi saw akan masuk surga, orang
mati syahid juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga
akan masuk surga (HR.Ahmad), oleh sebab itu hadis itu harus ditolak, meskipun
sanadnya hasan.
3. Metode
Nasikh-Mansukh
Apabila
metode tarjih tidak mungkin dilakukan, maka para ulama menempuh metode
nasakh-mansukh, yaitu menghapus hukum syara’ dengan hukum syara’ yang datang
kemudian. Imam Hanafi dalam menyelesaikan ikhtilaf al hadis, agak
berbeda dengan Imam Syafi’i. Ia lebih mendahulukan nasakh, karena nasakh itu
merupakan hak prerogatif Allah SWT, bukan hasil ijtihad seorang mujtahid
seperti jama’ dan tarjih.[19]
Dengan mengamalkan dalil yang menasakh dan meninggalkan dalil yang dinasakh.
Namun perlu diingat bahwa proses nasakh dalam hadis hanya terjadi di saat Nabi
saw masih hidup, karena pembentukan syariat sedang berproses dan yang berhak
menghapus ketentuan hukum syara’ hanyalah Allah dan Rasulullah saw.
Contoh
penyelesaian nasakh-mansukh adalah hadis tentang nikah mut’ah, yang dulunya
banyak dilakukan oleh orang Arab :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ
حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ الْحَسَنِ
وَعَبْدِ اللَّهِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ
أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيٍّ
أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يُلَيِّنُ فِي مُتْعَةِ
النِّسَاءِ …
(Muslim – 2512) : Dan telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair telah menceritakan
kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Ubaidullah dari Ibnu Syihab
dari Al Hasan dan Abdullah bin Muhammad bin Ali dari ayahnya dari Ali bahwa dia
telah mendengar Ibnu Abbas lunak (mengizinkan) dalam nikah mut'ah …[20]
Yang
kemudian dihapus oleh hadis :
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ وَالْحَسَنِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ
عَنْ أَبِيهِمَا عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ
وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ
(Bukhari
- 3894) : Telah menceritakan
kepadaku Yahya bin Qaza'ah telah menceritakan kepada kami Malik dari Ibnu
Syihab dari Abdullah dan Al Hasan, dua anak Muhammad bin 'Ali dari Bapak
keduanya dari 'Ali bin Abu Thalib radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam melarang nikah mut'ah (perkawinan dengan waktu
terbatas semata untuk bersenang-senang) dan melarang makan daging keledai jinak
pada perang Khaibar." [21]
Contoh
nasikh dan mansuk yang kedua adalah tentang hukum rajam dengan hadis
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ قَالَ حَفِظْنَاهُ مِنْ فِي الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي
عُبَيْدُ اللَّهِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ وَزَيْدَ
بْنَ خَالِدٍ قَالَا
كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلَّا قَضَيْتَ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ
فَقَامَ خَصْمُهُ وَكَانَ أَفْقَهَ مِنْهُ فَقَالَ اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ
وَأْذَنْ لِي قَالَ قُلْ قَالَ إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ
فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَخَادِمٍ ثُمَّ سَأَلْتُ رِجَالًا مِنْ أَهْلِ
الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ وَعَلَى
امْرَأَتِهِ الرَّجْمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي
نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ جَلَّ ذِكْرُهُ الْمِائَةُ
شَاةٍ وَالْخَادِمُ رَدٌّ عَلَيْكَ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ
وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا فَغَدَا
عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا
قُلْتُ لِسُفْيَانَ لَمْ يَقُلْ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ
عَلَى ابْنِي الرَّجْمَ فَقَالَ الشَّكُّ فِيهَا مِنْ الزُّهْرِيِّ فَرُبَّمَا قُلْتُهَا
وَرُبَّمَا سَكَتُّ
(Bukhari - 6326) : Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin
Abdullah telah menceritakan kepada kami Sufyan mengatakan, kami menghapalnya
dari orang yang berada di majlis Az Zuhri mengatakan, telah mengabarkan
kepadaku Ubaidullah ia mendengar Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid mengatakan;
Kami disisi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba seorang laki-laki
datang dan berujar; 'Saya bersumpah atas nama Allah kepadamu, putuskanlah
perkara diantara kami dengan kitabullah.' Lantas berdirilah lawan sengketanya
yang lebih faqih dari dia dan berkata; 'Putuskanlah diantara kami dengan
kitabullah, dan izinkanlah aku untuk bicara." Nabi berkata;
"bicaralah". Lanjutnya; 'Anakku menjadi pekerja laki-laki ini,
kemudian anakku berzina dengan isterinya, maka aku menebusnya dengan seratus
ekor kambing dan satu pembantu, kemudian aku bertanya kepada beberapa ahli
ilmu, mereka mengabariku bahwa anakku berkewajiban didera seratus kali dan
diasingkan selama setahun, sedang isterinya harus dirajam.' Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di
Tangan-Nya, aku akan memutuskan diantara kalian dengan kitabullah yang agung
sebutan-Nya. seratus ekor unta dan pembantu dikembalikan kepadamu, anakmu di
cambuk sebanyak seratus kali dan disaingkan selama setahun, dan pergilah Unais
Al Aslami ke istri orang ini, jikau dia mengakuinya, maka rajamilah dia."
Unais akhirnya pergi menemui istri orang tersebut, dan dia mengakuinya, maka ia
merajamnya.' Saya bertanya kepada Sufyan; apakah dia tidak berkata; 'mereka
mengabariku bahwa anakku terkena rajam? ' Sufyan menjawab; 'keraguanku itu
berasal dari Az Zuhri, maka terkadang saya katakan dan terkadang saya
tinggalkan'[22]
tentang hukum rajam yang pernah dilakukan
sebelum turunnya Surah al-Nur ayat 2, yang artinya( Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus
kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat,
dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari
orang-orang yang beriman). Dan dalam surah al-Nisa ayat 25 yang artinya (... dan
apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan
perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita
merdeka yang bersuami... ). Komentar mengenai ini bahwa hukum rajam adalah
melenyapkan jiwa dan ia tidak dapat dilakukan separo.[23]Seperti
hadis berikut ini : “Abdul Malik bin
Shu'aib bin al-Laith bin Sa'd menceritakan kepadaku (Imam Muslim), ia menerima
dari Ayahnya, ayah menerima dari Kakekku. Kakekku berkata bahwa ia menerimanya
dari 'Uqail yang diterima dari Ibn Shihâb dari Abî Salamah bin'Abd al-Rahmân
bin 'Auf dan Sa'id bin al-Musayyab dari Abî Hurairah mengatakan bahwa ada
seorang lali-laki Muslim datang kepada Rasulullah SAW sedangkan pada saat itu
beliau berada di masjid. Laki-laki tersebut memanggil Rasul seraya
berkata:"Wahai Rasulullah sungguh aku telah berzina. Lalu Nabi memalingkan
wajahnya. Kemudian laki-laki itu berpindah ke arah hadapan Rasul setelah
berpaling dan mengatakan lagi: "Wahai Rasul sungguh aku telah berzina,
Nabipun berpaling lagi, dan laki-laki tersebut juga berpindah ke hadapan Rasul setelah
berpaling sampai empat kali. Nabipun lalu bertanya: apakah kamu gila? Laki-laki
itu menjawab: "tidak wahai Rasulullah." Kemudian Rasul bertanya:
"apakah kamu muhsân (sudah nikah)? Laki-laki tersebut menjawab:
"ya". Setelah itu Rasulullah memerintahkan kepada para sahabat
untuk melakukan
hukuman rajam"…
Pada
pelaksanaan hukum rajam di atas tidak diketahui secara pasti, apakah hukum
rajam itu dilakukan sebelum atau sesudah surah al-Nisa ayat 2 turun. Hal ini
bisa kita lihat pada riwayat Imam al-Bukhâri : Telah menceritakan kepadaku (Imam
al-Bukhari) Musa ibn Ismail, ia mengatakan bahwa Abd al-Wahid telah mengatakan
kepadaku yang ia terima dari Syaibani di mana ia mengatakan: “Saya bertanya
kepada Abdullah ibn Abi Aufa mengenai rajam, maka iapun kemudian menjawab:
“Nabi telah melakukannya”. Kemudian aku bertanya lagi kepadanya: “apakah hal
tersebut terjadi sebelum atau sesudah diturunkannya surah Al-Nur ? Ia menjawab:
“Aku tidak tahu”. Riwayat serupa ditemukan oleh Ali ibn Masyhar, Khalid ibn
Abdullah dan Ubaidullah ibn Khumaid dari Syaibani. Sementara Maulana Muhammad
Ali mengatakan bahwa pelaksanaan rajam pada masa Nabi tersebut terjadi
sebelum diturunkannya Surat Al-Nur.[24]
Melihat kenyataan historis tersebut, tentunya siapapun orangnya pasti berkeinginan
akan menjadikan al-Qur’an sebagai acuan pertama yakni dengan mengacu pada Surah
al-Nur (24) : 2 tersebut daripada memberlakukan hadis yang tidak diketahui dimensi
waktu pelaksanaannya. Dari kenyataan sejarah ini jelas dapat dipahami mengapa
Nabi Muhammad melaksanakan hukum yang ada dalam kitab Taurat itu terhadap orang
Yahudi dan juga terhadap orang Islam. Namun setelah ayat tentang hukum bagi
pezina telah diturunkan, maka Nabi tidak lagi menghukum rajam kepada orang
Islam. Hal ini dikarenakan dalam ayat tersebut disebutkan bahwa bagi mereka
yang berzina (baik laki-laki maupun perempuan, muhsân atau ghair
muhsân) hukumannya adalah deraan seratus kali.[25]
4. Metode Ta’wil
Metode ini salah satu alternatif baru dalam
menyelesaikan hadis-hadis yang tampak bertentangan. Sebagai contoh hadis
tentang lalat,
حَدَّثَنَا خَالِدُ
بْنُ مَخْلَدٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ قَالَ حَدَّثَنِي عُتْبَةُ بْنُ
مُسْلِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ بْنُ حُنَيْنٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ
فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ
ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
(Bukhari - 3073) : Telah bercerita kepada kami Khalid bin
Makhlad telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal berkata; telah
bercerita kepadaku Utbah bin Muslim berkata; telah mengabarkan kepadaku Ubaid
bin Hunain berkata; saya mendengar Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika ada seekor lalat yang
terjatuh pada minuman kalian maka tenggelamkan kemudian angkatlah, karena pada
satu sayapnya penyakit dan sayap lainnya terdapat obatnya."[26]
Hadis ini dinilai kontradiktif dengan akal dan teori
kesehatan. Sebab lalat merupakan serangga yang berbahaya dan bisa menyebarkan
penyakit. Lalu bagaimana mungkin Nabi saw menyuruh supaya menenggelamkan lalat
yang hinggap diminuman?
Selintas hadis tersebut memang tidak masuk akal,
tetapi seiring dengan majunya ilmu pengetahuan, para peneliti Muslim di Mesir
dan Saudi Arabia membuktikan lain. Mereka membuat minuman air, madu dan juice
yang dimasukan ke dalam bejana yang dibiarkan terbuka agar dimasuki lalat.
Setelah lalat masuk ke dalam beberapa minuman tersebut, mereka melakukan
komparasi penelitian, antara minuman yang lalat dibenamkan di dalamnya dan yang
tidak dibenamkan dalamnya. Ternyata melalui pengamatan mikroskup diperoleh
hasil bahwa minuman yang dihinggapi lalat dan tidak dibenamkan ke dalamnya
dipenuhi dengan kuman dan mikroba. Sementara minuman yang dibenamkan lalat di
dalamnya justru tidak dijumpai sedikitpun.[27]
5. Metode Tawaqquf
Yaitu menghentikan atau mendiamkan dengan tidak
mengamalkan hadis yang tidak bisa diselesaikan sampai ditemukannya keterangan,
hadis mana yang bisa diamalkan. Misalnya pada hadis tentang lalat di atas untuk
sementara waktu (pada saat munculnya hadis tersebut) tidak diamalkan karena
bertentangan dengan akal dan teori kesehatan.
BAB
III
P
E N U T U P
A. Kesimpulan
dari
uraian penulis di atas, ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil, yaitu :
1. Hadis
mukhtalif adalah dua buah hadis yang sama-sama berkualitas sahih atau hasan
(maqbul) yang secara lahiriah nampak saling bertentangan satu sama lainnya dan
dapat diselesaikan dengan metode kompromi (jama’), naskh, tarjih, ta’wil,
al-tawaqquf. Namun demikian ketika kita menemukan dua buah hadis yang
tampak bertentangan kita jangan terburu-buru menolak hadis tersebut sebelum
benar-benar melakukan verifikasi secara mendalam.
2. Paling
tidak ada 5 metode yang bisa digunakan dalam menyelesaikan ikhtilaf al-hadis,
yaitu metode kompromi (jama’), naskh, tarjih, ta’wil, al-tawaqquf.
B. Saran
Disarankan
kepada kita agar senantiasa taat kepada
Allah dan Rasulnya dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi
larangan-Nya. Dan pahamilah hadis-hadis Nabi sesuai dengan kaidah ilmunya
dengan tidak menyalahkan orang lain dalam aplikasinya, agar terwujud masyarakat
yang aman, damai dan sejahtera di bawah lindungan dan rida Allah SWT.
DAFTAR
PUSTAKA
Khon,
Abdul Majid, Ulumul Hadis, Jakarta,
Amzah, 2009.
Mustaqim, H. Abdul, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma
Interkoneksi, Yogyakarta, IDEA Press, 2008.
Nizar Ali, Rekonstruksi Hukum Rajam dalam
Perspektif Hadis Nabi, file pdf didownload pada tgl 06/04/2014 pukul 08.51
WIB.
Qutaibah, Ibnu Imam, Ta’wil Hadits-Hadits yang
Dinilai Kontradiktif, Jakarta, Pustaka Azzam, 2008.
Shihab,
M. Quraish, Membumikan Al-Quran, Bandung, Mizan, 2013.
Softwere
Kutubu Tis’ah ( Hadis 9 Imam)
Softwere
Maktabah Syamilah.
Tim
Penyusun Kamus, Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,
1999.
Yusqi, Moh. Ishom, Metodologi Penyelesaian Hadits
Kontradiktif, Jakarta, Sukses
Bersama 2010.
Daftar Pertanyaan Dan Perbaikan Makalah
1.
Bu Endang : penjelasan hadis
tentang lalat dibuatkan hadisnya.
2.
Bu Sri Muliati : pelaksanaan
hukum rajam dilengkapi dengan hadisnya.
3.
Penyebab terjadinya ikhtilaf al
hadis disertai dengan contoh.
4.
Siapa saja yang dapat
menyelesaikan hadis ikhtilaf.
5.
Bu Hartati tentang nikah batin
6.
Hadis tentang perempuan yang
mengubur bayi hidup-hidup
[1]
Lihat kitab Muwatha Malik juz 5 hal.1323 dengan nomor hadis 3338.
[2]
Lihat softwere maktabah syamilah dengan keyword man sanna sunnata.
[3]
Khon, Ulumul Hadis, Amzah, 2009, h.6.
[4]
Shihab, Membumikan AL-Quran, Mizan, 2013, h. 187.
[5]
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia cet.X, Balai Pustaka, 1999, h. 430.
[6]
Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi, Idea Press, 2008,
h. 84.
[7]
Yusqi, Metodologi PenyelesaianHadits Kontradiktif, Sukses Bersama, 2010, h.
138.
[8]
Yusqi, Metodologi PenyelesaianHadits Kontradiktif, Sukses Bersama, 2010, h.
138.
[9]
Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi, Idea Press, 2008,
h. 87.
[10]
Yusqi, Metodologi PenyelesaianHadits Kontradiktif, Sukses Bersama, 2010, h.
140.
[11]
Kitab Shahih Bukhari No. 156 bab wudhu juz 1 h. 70.
[12]
Kitab Shahih Muslim no. 567 bab wudhu
dan sholat juz 1 h. 142.
[13]
Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi, Idea Press, 2008,
h. 90.
[14]
Qutaibah, Ta’wil Hadits-Hadits yang Dinilai Kontradiktif, Pustaka Azzam,
2008, h. 156.
[15]
Al-Barahah adalah tempat-tempat yang tidak ada pohon dan tanamannya.
[16]
Yusqi, Metodologi PenyelesaianHadits Kontradiktif, Sukses Bersama, 2010, h.
141.
[18]
Shalahuddin al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn, h. 265.
[19]
Yusqi, Metodologi PenyelesaianHadits Kontradiktif, Sukses Bersama, 2010, h.
143.
[20]
Softwere kitab 9 Imam dengan keyword mut’ah
[21]
Softwere kitab 9 Imam dengan keyword nikah mut’ah
[22]
Softwere kitab 9 Imam dengan keyword rajam.
[23]
Qutaibah, Ta’wil Hadits-Hadits yang Dinilai Kontradiktif, Pustaka Azzam,
2008, h. 322.
Islamiyyah, 1986),
p. 886.
[25]
Nizar Ali, Rekonstruksi Hukum Rajam dalam Perspektif Hadis Nabi, file
pdf didownload pada tgl 06/04/2014 pukul 08.51 WIB.
[26]
Softwere hadis 9 Imam dengan keyword lalat.
[27]
Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadits Paradigma Interkoneksi, Idea Press, 2008,
h. 100.