Selasa, 21 Oktober 2014

LANDASAN NORMATIF HUMA BETANG



BAB I
PENDAHULUAN
LANDASAN DASAR-DASAR NORMATIF KEPEMIMPINAN
KEPENDIDIKAN BUDAYA LOKAL HUMA BETANG SESUAI PANCASILA DAN UUD 1945
Keyword: landasan dasar-dasar normatif, kepemimpinan kependidikan budaya lokal
A.       Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk individu yang terikat dalam proses interaksi dalam hubungannya dengan manusia lain merupakan gambaran kehidupan yang ada dalam sebuah masyarakat dahulu dan sekarang. Oleh sebab itu manusia dibekali oleh Rabb pendengaran, penglihatan dan hati[1] yang merupakan modal dasar bagi setiap manusia untuk bisa memposisikan dirinya baik sebagai makhluk individu, masyarakat, pemimpin (khalifah), guna kelangsungan hidupnya di dunia dan di akhirat. Untuk bisa mengetahui tentang kebaikan dan keburukan Allah SWT juga memberikan akal pikiran kepada manusia[2] agar mereka mampu mengenal Rabbnya sehingga beriman kepada-Nya. Dengan akal juga manusia mampu berkreasi sehingga menghasilkan sebuah karya seni dan budaya yang indah yang mampu mengantarkannya kepada peradaban yang lebih maju.
Menurut Goerge Herbert Mead dalam Deddy Mulyana dalam Sabian Utsman[3], bahwa manusia individu (social-self) terdiri dari dua fase, pertama “ Aku ” ( i ), yaitu aku adalah diri yang subjektif, refleksif dalam situasi dan kecenderungan impulsif individu untuk bertindak dalam suatu cara yang tidak terorganisasikan, tidak terarah dan spontan. Yang kedua “ Daku “ ( me ), yaitu pengambilan peran dari sikap orang lain atau kelompok tertentu.[4]
Perilaku-perilaku individu ( aku ) dan ( daku ) inilah yang akan melahirkan sebuah hubungan komunikasi yang menjadi sebuah kesepakatan budaya yang terpatri dalam nilai-nilai adat, sosial masyarakat dan negara yaitu Pancasila dan UUD 1945. Di antara nilai-nilai tersebut adalah nilai falsafah “ Huma Betang “[5] (rumah panjang) dan nilai persatuan dan kesatuan.
Nilai-nilai inilah yang merupakan landasan dasar dalam kepemimpinan yang bebas terpimpin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernilai kearifan lokal, kata Prof.Dr.Norsanie Darlan[6] dalam Saidul Karnain Ishak (penulis Falsafah Huma Betang Perlu Dilestarikan, terbitan Kompas.com, Senin, 06 Oktober 2014). Sehingga nilai-nilai ini masih perlu dikaji dan dikembangkan dalam tatanan kehidupan sekarang, yang nantinya akan bermuara pada tatanan kehidupan masyarakat madani, sebagaimana yang diidamkan oleh umat Islam.
Dengan beranjak dari uraian di atas penulis mencoba mengangkat konsep dasar-dasar normatif dalam kepemimpinan budaya lokal yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 dalam hubungan dengan kehidupan sekarang, khususnya nilai-nilai yang terkandung dalam Falsafah Huma Betang. Falsafah Huma Betang ini merupakan ruang publik yang bisa dikembangkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dalam sebuah kepemimpinan yang bebas dan terpimpin dengan mengedepankan persatuan dan kesatuan yang posisinya setara dan mampu melakukan transaksi-transaksi, wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran.
B.         Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apakah landasan dasar-dasar normatif?
2.      Bagaimana kepemimpinan budaya lokal huma betang?
3.      Manfaat apa yang bisa diambil dari kepemimpinan budaya lokal huma betang.
C.        Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mendapatkan pemahaman tentang landasan dasar-dasar normatif, kepemimpinan budaya lokal huma betang dan manfaatnya.
D.       Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah library research, yaitu menggali dari bahan-bahan kepustakaan yang kemudian dianalisis sesuai dengan fenomena yang ada.

BAB II
PEMBAHASAN
A.       Landasan Dasar-Dasar Normatif
Kalau kita berbicara mengenai landasan dasar-dasar normatif tentu yang terbesit dalam benak kita adalah kitab suci yaitu Al-Quran dan al Hadis atau bisa juga landasan negara kita yaitu Pancasila dan UUD 1945, atau ada juga mengatakan bahwa landasan normatifnya adalah apa yang berlaku dalam sebuah masyarakat.
Perlu dipertegas bahwa yang menjadi landasan dasar-dasar normatif bagi kita sebagai orang yang beragama adalah Al-Quran dan Hadis. Dan karena kita juga mendiami wilayah Indonesia tentu kita juga terikat dengan landasan Pancasila dan UUD 1945. Artinya, dalam hal apapun, baik itu perilaku, sikap, dan tindak tanduk kita tidak boleh bertentangan dengan landasan tersebut.
Sebagaimana disebutkan dalam latar belakang di atas bahwa manusia dibekali akal, pendengaran, penglihatan dan hati, tentu ia akan melahirkan sebuah pemikiran yang baru, yaitu berupa seni dan budaya yang menjadi ciri khas orang tersebut. Maka dari itu manusia tidak bisa dilepaskan dari yang namanya kebudayaan, karena manusia merupakan bagian dari hasil kebudayaan itu sendiri.[7] Dalam hal ini Van Peursen (1988) dalam Tumanggor dkk, bahwa budaya itu semestinya diperlakukan sebagai kata kerja, bukannya sebagai kata benda. Sehingga budaya tiap-tiap masyarakat itu berbeda-beda sesuai dengan tempat dan waktunya terjadinya.
Pada dasarnya mansuai itu mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan, yaitu 1) penganut kebudayaan, 2) pembawa kebudayaan, 3)manipulator kebudayaan dan 4) pencipta kebudayaan.[8]
Sebagai penganut kebudayaan artinya ia hanya sebagai pelaku tradisi saja. Pembawa kebudayaan adalah pihak luar atau anggota masyarakat setempat yang membawa budaya asing/ baru. Sedangkan manipulasi kebudayaan adalah anggota masyarakat setempat yang melakukan aktivitas kebudayaan atau mengatasnamakan budaya setempat tetapi tidak sesuai dengan nilai-nilai atau ide luhur yang ada. Dengan demikian penulis berpendapat bahwa manusia itu baik dia sebagai pelaku tradisi, pembawa budaya, manipulator budaya atau pencipta budaya dan apapun yang dihasil oleh pikiran manusia harus sesuai dengan landasan normatif yang ada.
Kaitannya dengan makalah ini penulis perlu menggarisbawahi bahwa yang di maksud dengan landasan dasar-dasar normatif ini adalah sebagaimana yang tertuang dalam falsafah Huma Betang yang tertuang dalam Perda Nomor 16 Tahun 2008, yaitu perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum alam).[9] Landasan Huma Betang atau Belum Bahadat (hidup beraturan) ini merupakan perwujudan sikap dan tingkah laku orang dayak baik terhadap dirinya sendiri, orang lain dan alam sekitarnya yang diwariskan secara turun temurun kepada anak cucunya hingga sekarang. Landasan normatif ini bisa dipakai oleh siapa saja karena di dalamnya berisikan nilai-nilai yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Misalnya nilai kebersamaan, yang sesuai dengan sila ke tiga dari Pancasila dan pasal 30 UUD 1945 tentang kewajiban membela negara. Hakinan Daha Hasapan Belum artinya saling menukar, yaitu sikap setia dan taat kepada pimpinan, hal ini tergambar dalam sila ke empat dari Pancasila dengan mendahulukan musyawarah sebagai cara dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Dengan demikian , maka pantaslah warisan budaya ini dijadikan sebagai landasan filosofis normatif yang berlaku di Kalimantan Tengah.
B.        Kepemimpinan Kependidikan Budaya Lokal Huma Betang dan Manfaatnya
Menurut Baharuddin dan Umiarso (2012), esensi dari kepemimpinan itu adalah kepengikutan kemauan orang lain untuk mengikuti keinginan pemimpin.[10] Sedangkan Menurut Herlambang (2014), ada tiga hal penting yang ada dalam sebuah kepemimpinan, yaitu : 1. Kepemimpinan itu menyangkut orang lain, bawahan atau pengikut dengan mempunyai kesediaan untuk menerima pengarahan dari pemimpin, tanpa pengikut seorang pemimpin tidak akan bisa berjalan, 2. Kepemimpinan menyangkut kekuasaan, pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan berbagai kegiatan para anggota kelompok, tetapi para anggota kelompok tidak dapat mempengaruhi pemimpin dan mengarahkan pemimpin secara langsung, 3. Pemimpin dapat memberikan pengaruh, pemimpin tidak hanya memerintah tetapi mempengaruhi seseorang agar bawahan dapat mengikuti dan melaksanakan perintah secara suka rela tanpa paksaan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan.[11]
Kepemimpinan adalah suatu kekuatan yang penting dalam rangka pengelolaan sumber daya secara efektif, efisien dan produktif. Sebab kepemimpinan yang baik itu adalah yang mampu membawa masyarakatnya kepada kesejahteraan, kebahagiaan dengan bekerja bersama-sama yang dilandasi dengan sikap atau perilaku yang baik (organitation behaviour) yang dimunculkan oleh pemimpinnya maupun masyarakatnya.
Jadi kepemimpinan yang dimaksud penulis dalam makalah ini adalah keberadaan seorang pemimpin yang mampu memimpin masyarakatnya untuk bekerja secara bersama-sama dalam mewujudkan tujuan yang ingin dicapai, yaitu kesejahteraan dan kebahagian hidup di dunia dan di akhirat.
Untuk bisa menjadi seorang pemimpin, ada beberapa teori yang menyebutkan bahwa pemimpin itu dilahirkan dengan membawa sifat-sifat sebagai seorang pemimpin[12]. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa berhasil tidaknya kepemimpinan itu tidak hanya dipengaruhi oleh pembawaan lahir pada diri seorang pemimpin melainkan dipengaruhi oleh sifat-sifat terhadap yang dipimpinnya (lingkungan). Sedangkan pandangan yang terkini mengatakan kepemimpinan itu atas dasar psikologi, sosiologi, ekonomis dan politis dengan menyesuaikan terhadap situasi. Kepemimpinan akan sukses atau tidak masih ditentukan oleh situasi yang selalu berubah yang mempengaruhi perubahan dan perkembangan kehidupan kelompok yang dipimpinnya, demikian menurut Yaqin dalam bukunya.
Penulis berpendapat bahwa kepemimpinan itu merupakan sunatullah, artinya setiap orang berpotensi untuk bisa menjadi seorang pemimpin. Hal ini didasarkan kepada Hadis Nabi Muhammad saw dari Abdillah Ibnu Umar :
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْمَرْوَزِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنَا سَالِمُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَزَادَ اللَّيْثُ قَالَ يُونُسُ كَتَبَ رُزَيْقُ بْنُ حُكَيْمٍ إِلَى ابْنِ شِهَابٍ وَأَنَا مَعَهُ يَوْمَئِذٍ بِوَادِي الْقُرَى هَلْ تَرَى أَنْ أُجَمِّعَ وَرُزَيْقٌ عَامِلٌ عَلَى أَرْضٍ يَعْمَلُهَا وَفِيهَا جَمَاعَةٌ مِنْ السُّودَانِ وَغَيْرِهِمْ وَرُزَيْقٌ يَوْمَئِذٍ عَلَى أَيْلَةَ فَكَتَبَ ابْنُ شِهَابٍ وَأَنَا أَسْمَعُ يَأْمُرُهُ أَنْ يُجَمِّعَ يُخْبِرُهُ أَنَّ سَالِمًا حَدَّثَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ[13]
Artinya : Dari Abdullah bin Umar ra ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Kamu semua adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seseorang imam adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin bagi istrinya dan harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin di lingkungan rumah tangga suaminya dia harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Pembantu adalah pemelihara terhadap harta tuannya dia harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Abdullah berkata, saya kira Rasulullah saw bersabda juga  dan seseorang anak adalah pemelihara milik orang tuanya dia harus bertanggung jawab atas pemeliharaannya itu. Dan kamu semua adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab atas kepemimpinannya. (HR. Bukhari No. 893).

Namun pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau mengerti keadaan masyarakatnya dan mau mengabdikan dirinya untuk masyarakat dengan semata-mata mengharap ridha Allah SWT dengan tetap melaksanakan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, agar masyarakat yang dipimpinnya juga mau mengikuti perintah pimpinannya.
Kaitannya dengan Kepemimpinan yang kita ketahui dari suku dayak, bahwa orang dayak itu termasuk orang yang taat dan patuh kepada pemimpinnya. Pemimpin atau kepala suku adalah orang yang disegani, dekat dan paham dengan masyarakatnya serta peka dalam mengamati situasi. Disamping itu faktor Mamut Menteng atau gagah perkasa, tegas berani tanggung resiko, berilmu tinggi, bersikap adil dan mampu menjalankan hukum adat dengan baik dan taat kepada hukum  Pali (larangan), merupakan syarat-syarat yang harus dimiliki apabila ingin menjadi seorang pemimpin, demikian Nila Riwut (2003) dalam bukunya Manaser Panatau Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur).
Dapat kita simpulkan bahwa kepemimpinan dalam suku dayak adalah kepemimpinan yang memadukan antara tipe otokratis dan demokratis. Otokratis disini adalah keputusan pimpinan yang bersikap mutlak terhadap masyarakat yang melanggar aturan atau adat nenek moyang yang dipegang. Bersikap demokratis artinya masyarakat boleh memberikan saran atau pendapat dalam memecahkan persoalan yang dihadapi, yaitu dalam permasalahan yang menyangkut orang banyak masih tetap menggunakan cara musyawarah untuk menghasilkan keputusan yang terbaik, bukan keputusan dari pemimpinnya.
Manfaat yang bisa diambil dari kepemimpinan budaya lokal Huma Betang  ini adalah pertama, Hakinan Daha Hasapan Belum[14]  artinya saling menukar darah yang kemudian pada pergelangan tangan diikatkan lamiang atau lilis. Setelah itu memotong rotan, menaburkan beras kuning, abu, garam, kemudian ibu jari tangan kanan dilukai sedikit hingga mengeluarkan darah. Upacara ini dilaksanakan sebelum pukul 12.00 siang hari. Tetesan darah inilah merupakan perwujudan lambang bakti yang setinggi-tingginya pada seorang pemimpin. Kedua dalam falsafah huma betang  ada sikap toleransi, yaitu saling menghormati antara sesama suku dayak yang tersebar di seluruh pulau Kalimantan, artinya walaupun mereka dipisahkan oleh sungai dan daratan, mereka tetap saling menghormati dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat orang dayak. Ketiga yaitu Handep Tuntang Haduhup artinya bekerja sama atau gotong royong saling tolong menolong, keempat mendahulukan Belum Bahadat artinya hidup harus sesuai aturan, dimanapun kita tinggal kita harus taat dan patuh terhadap aturan yang berlaku.
BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Landasan dasar-dasar normatif ini adalah perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum alam).
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau mengerti keadaan masyarakatnya dan mau mengabdikan dirinya untuk masyarakat dengan semata-mata mengharap ridha Allah SWT dengan tetap melaksanakan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, agar masyarakat yang dipimpinnya juga mau mengikuti perintah pimpinannya.
Untuk menjadi seorang pemimpin atau kepala suku orang dayak dia  adalah orang yang disegani, dekat dan paham dengan masyarakatnya serta peka dalam mengamati situasi, Mamut Menteng atau gagah perkasa, tegas berani tanggung resiko, berilmu tinggi, bersikap adil dan mampu menjalankan hukum adat dengan baik dan taat kepada hukum  Pali (larangan).
Kepemimpinan dalam suku dayak adalah kepemimpinan yang memadukan antara tipe otokratis dan demokratis.
Kepemimpinan budaya lokal dayak yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 dan bermanfaat bagi kita adalah Hakinan Daha Hasapan Belum artinya saling menukar darah, sikap toleransi, yaitu saling menghormati antara sesama suku dayak dan orang lain, Handep Tuntang Haduhup artinya bekerja sama atau gotong royong saling tolong menolong, Belum Bahadat artinya hidup harus sesuai aturan, dimanapun kita tinggal kita harus taat dan patuh terhadap aturan yang berlaku.
B.        Saran
Disarankan agar kita memiliki kepedulian dan apresiasi yang tinggi terhadap kebudayaan lokal khususnya adat dayak dengan menerapkan falsafah  huma betang.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 9, Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2011.
Herlambang, Susatyo, Perilaku Organisasi Cara Mudah Mempelajari Perilaku Manusia Dalam Sebuah Organisasik, Yogyakarta: Gosyen Publishing, 2014.
Mohamad, Goenawan, Dimana Bumi Dipijak Disana Langit Dibangun, Malang: Bayu Media, 2011
Riwut, Nila, Maneser Panatau Tatu Hiang ( Menyelami Kekayaan Leluhur), Yogyakarta: 2003.
Softwere Maktabah Syamila.
Sulang, Kusni Budaya Dayak Permasalahan dan Alternatifnya, Malang: Bayu Media, 2011.
Suradji, H. Gatot dan Martono, Engelbetus, Ilmu dan Seni Kepemimpinan, Bandung, Pustaka Reka Cipta, 2014.
Tumanggor Rusmin, Ridho Kholis, Nurochim, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Umiarso dan Baharuddin, Kepemimpinan Pendidikan Islam antara Teori dan Praktik, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2012.
Utsman, Sabian, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Yaqin, Husnul, Kapita Selekta Administrasi dan Manajemen Pendidikan, Banjarmasin, Antasaripress, 2011.













[1] قُلْ هُوَ الَّذِي أَنْشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ (٢٣) al-mulk : 23,

[2]  أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا فَاتَّقُوا اللَّهَ يَا أُولِي الألْبَابِ الَّذِينَ آمَنُوا قَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ ذِكْرًا (١٠)at-Talak : 10,

[3] Sabian Utsman bin H. Anang Utsman (alm) adalah Dosen Sosiologi Hukum STAIN Palangka Raya, lahir di Sebuai, Kumai yaitu Kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Kotawaringin Barat Pangkalanbun Kalimantan Tengah pada tanggal 09 November 1963 dan mempelajari Sosiologi Kriminalitas (M,Si) PPs UMM dan di Program Doktor Sosiologi Pedesaan PPs Unibraw, belajar ilmu hukum di Program Doktor PPs FH UII, yang telah banyak menulis buku-buku ilmiah di antaranya Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat.
[4] Sabian Utsman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013, h. 161.
[5] Huma Betang adalah rumah adat suku dayak yang dibangun tinggi dari tanah terbuat dari kayu ulin berbentuk persegi panjang dengan tiang-tiang sebagai penyangga bangunannya dengan maksud untuk menghindari banjir, menghindari musuh yang menyerang dengan tiba-tiba, menghindari binatang buas, juga karena tuntutan adat yang dihuni oleh 100 sampai 200 jiwa yang terdiri dari beberapa kepala keluarga yang dipimpin seorang bakas lewu atau kepala suku.
[6] Beliau adalah Guru Besar Pendidikan Luar Sekolah (PLS)  Universitas Palangka Raya.
[7] Rusmin Tumanggor, Kholis Ridho, H.Nurochim, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, 17.
[8] Rusmin Tumanggor, Kholis Ridho, H.Nurochim, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, 17.
[9] Andriani S Kusni, dkk, Dimana Bumi Dipijak Disana Langit Dibangun, Malang: Bayu Media, 2011, h. 116.
[10] Baharuddin & Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Islam Antara Teori dan Praktik, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012, h. 33.
[11] Herlambang, Perilaku Organisasi, Yogyakarta, Gosyen Publishing, 2014, h. 95.
[12] Yaqin, Kapita Selekta Administrasi dan Manajemen Pendidikan, Banjarmasin, Antasaripress, 2011,h.158.

[13] Kitab Shahih Bukhari juz 2, h. 305.
[14] Nila Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang, Yogyakarta: 2003, h. 216.

STRUKTUR ORGANISASI DAN RENTANG KENDALI DALAM PERILAKU ORGANISASI


BAB I
PENDAHULUAN
STRUKTUR ORGANISASI DAN RENTANG KENDALI DALAM PERILAKU ORGANISASI
A.       Latar Belakang
Dalam aktivitas sehari-hari, kita akan selalu bersinggungan dengan manusia lainnya. Apakah dalam bentuk sebuah organisasi, perkantoran, sekolahan, kegiatan sosial, kegiatan keagamaan dan lain sebagainya. Bahkan segerombolan lebah atau semut akan membentuk pola organisasi dalam kehidupannya. Dalam sahih tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa Allah memberi petunjuk kepada lebah supaya menjadikan bukit-bukit, pohon-pohon dan tempat-tempat yang dibuat manusia sebagai tempat yang mereka diami. Mereka bekerja sama dengan ketekunan dan sangat teliti untuk menyusun dan menata yang terdiri dari sel-sel yang berbentuk segi enam, tanpa ada bagian yang salah pada sarang-sarang itu.[1]
Kerja sama yang baik yang dilakukan oleh lebah tentu akan berbeda dengan apa yang dilakukan manusia yang sudah dibekali Allah swt dengan berbagai kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain, karena dia mempunyai akal.[2] Manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya[3] sehingga ia bisa melakukan aktivitasnya dengan melakukan hubungan kerja sama dalam upaya melangsungkan hidupnya. Hal inilah yang disebut Boone dan Kurtz (1982) dalam buku Perilaku Organisasi, bahwa manusia saling berinteraksi untuk mencapai tujuan, atau paling tidak menurut mereka terdapat tiga elemen pokok dalam sebuah organisasi, yaitu : 1. Adanya interaksi manusia ; 2. Adanya kegiatan yang mengarah pada tujuan dan 3. Adanya struktur yang jelas.[4]
Dengan adanya tiga unsur yang sudah disebutkan di atas itulah penulis mencoba menganalisis lebih dalam pada bab pembahasan mengenai seperti apa organisasi yang baik itu, apa-apa saja syaratnya, bagaimana bentuk strukturnya dan rentang kendali seperti apa yang baik.
B.        Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa itu organisasi.
2.      Apa saja syarat organisasi
3.      Bagaimana struktur organisasi yang baik
4.      Bagaimana rentang kendali yang baik dalam organisasi
C.        Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mendapatkan pemahaman tentang organisasi yang baik dalam menunjang pekerjaan sebagai seorang pendidik.
D.       Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah library research, yaitu menggali dari bahan-bahan kepustakaan yang kemudian dianalisis sesuai dengan fenomena yang ada.
BAB II
PEMBAHASAN
A.       Apa itu organisasi dan apa saja syaratnya
Payung hukum berdirinya sebuah organisasi diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 17 Tahun 2013, yaitu setiap orang berhak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara guna mewujudkan tujuan nasional dalam wadah negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Untuk mendapatkan pemahaman yang utuh tentang organisasi, sebaiknya kita lihat pendapat para ahli mengenai definisi organisasi. Stoner mengatakan bahwa organisasi adalah suatu pola hubungan-hubungan yang melalui mana orang-orang di bawah pengarahan atasan mengejar tujuan bersama. Stephen P. Robbins menyatakan bahwa Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan. Drs. Malayu S.P Hasibuan mengatakan organisasi ialah suatu sistem perserikatan formal, berstruktur dan terkoordinasi dari sekelompok yang bekerja sama dalam mencapai tujuan tertentu. Organisasi hanya merupakan alat dan wadah saja.[5] Di sisi lain Saiyadin (2013:13) dalam Wibowo menyebutkan, organisasi dipandang sebagai koordinasi rasional dari aktivitas sejumlah orang untuk mencapai sasaran bersama melalui pembagian kerja dan hierarki kewenangan dan akuntabilitas.[6]
Jadi, menurut penulis organisasi itu adalah adanya hubungan atau kerja sama oleh dua orang atau lebih yang dilakukan secara sadar dan terus menerus dalam bentuk pola kerja yang efisien dan terstruktur melalui arahan-arahan melalui sistem komunikasi yang dibangun dalam organisasi itu guna mencapai tujuan bersama yang diinginkan.
Sebuah perkumpulan atau perserikatan bisa disebut sebagai organisasi apabila memenuhi beberapa unsur, yaitu :
1.      Ada dua orang atau lebih.
2.      Tata hubungan yang jelas.
3.      Mempunyai maksud tertentu
4.      Mempunyai tujuan yang akan dicapai bersama.[7]
Jelaslah bahwa sebuah organisasi tentunya harus dilakukan oleh minimal dua orang atau lebih, karena di dalamnya ada kerja sama. Kerja sama tersebut harus dilakukan dalam tata hubungan yang jelas, yaitu siapa melakukan apa. Kemudian berdirinya sebuah organisasi harus mempunyai maksud tertentu dalam pembentukannya, misalnya, pembentukannya dengan maksud untuk membangun lembaga pendidikan dibidang pelayanan jasa. Dalam pembentukan organisasi harus ada tujuan yang akan dicapai secara bersama-sama. Namun apa yang dijelaskan di atas, penulis perlu menambahkan bahwa untuk keberlangsungan sebuah organisasi diperlukan komitmen dari anggota organisasi dan perangkat peraturan-peraturan dasar rumah tangga yang mengatur semua anggotanya agar tidak keluar dari perilaku-perilaku organisasi yang sudah disepakati.

B.        Struktur Organisasi
Sebelum kita membahas tentang struktur organisasi, kita mengenal istilah pengorganisasian dalam sebuah organisasi. Pengorganisasian ini adalah proses pengaturan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan dengan memperhatikan lingkungan yang ada. Pengaturan sumber daya inilah yang tersusun dalam sebuah struktur organisasi yang di dalamnya menetapkan cara tugas pekerjaan dibagi, dikelompokkan dan dikoordinasikan secara formal yang terdapat elemen-elemen, seperti spesialisasi pekerjaan, departementalisasi, rantai komando, rentang kendali, sentralisasi, desentralisasi serta formalisasi.[8]
1.       Spesialisasi kerja adalah pembagian tugas tenaga kerja dalam melakukan sebuah pekerjaan. Misalnya dalam pembuatan gerabah, dilakukan oleh beberapa orang. Orang pertama melakukan pencarian tanah liat, orang kedua melakukan pembentukan/pengolahan gerabah, orang ketiga melakukan pembakaran, orang keempat melakukan pengecatan, orang kelima melakukan pendistribusian. Hakikat dari spesialisasi kerja ini adalah daripada dilakukan oleh satu orang, lebih baik seluruh pekerjaan itu dipecah-pecah menjadi sejumlah langkah, dengan tiap langkah diselesaikan oleh seorang individu yang berlainan.[9]
2.       Departementalisasi yaitu mengelompokkan pekerjaan-pekerjaan dalam sebuah tugas-tugas yang sama/ mirip dapat dikoordinasikan.[10] Misalnya spesialisasi kerja dalam distribusi gerabah tadi dibuat menjadi satu depertemen yang melingkupi semua wilayah pendistribusian gerabah di seluruh Indonesia.
3.       Rantai komando merupakan garis tidak putus dari wewenang yang terentang dari puncak organisasi ke eselon terbawah dan memperjelas siapa melapor ke siapa.[11] Rantai komando ini mampu menjawab pertanyaan atau memperjelas bagi karyawan, misalnya, kepada siapakah saya harus pergi jika saya mempunyai masalah? Dan saya bertanggung jawab kepada siapa?. Ini artinya rantai komando berfungsi untuk memperjelas atau mempertegas hak dan kewajiban seorang karyawan dalam melakukan pekerjaannya.
4.       Rentang kendali adalah berapa jumlah bawahan yang dapat diarahkan secara efisien dan efektif oleh pimpinan.[12] Pertanyaan rentang kendali ini penting karena sangat menentukan banyaknya tingkatan dan manajer yang harus dimiliki oleh suatu organisasi. (dibahas secara khusus pada bagian lain).
5.      Sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi adalah sampai tingkat mana pengambilan keputusan dipusatkan pada suatu titik tunggal dalam organisasi. Sedangkan desentralisasi adalah keleluasaan keputusan dialihkan ke bawah ke karyawan tingkat lebih rendah.[13] Konsep sentralisasi ini hanya mencakup wewenang formal, yaitu hak-hak yang inheren dalam posisi seseorang. Artinya jika manajemen puncak mengambil keputusan utama organisasi dengan sedikit atau tanpa masukan dari personil tingkat lebih bawah, maka organisasi itu tersentralisasikan. Begitu sebaliknya dengan desentralisasi, tindakan dapat diambil lebih cepat untuk memecahkan masalah karena lebih banyak orang memberi masukan dalam keputusan dan makin kecil kemungkinan para karyawan merasa diasingkan dari mereka yang mengambil keputusan yang menyangkut kehidupan kerja mereka.[14]
6.       Formalisasi mengacu pada suatu tingkat yang terhadapnya pekerjaan di dalam organisasi dibakukan.[15] Formalisasi yang tinggi terdapat uraian jabatan yang tersurat, banyak aturan organisasi dan prosedur yang terdefinisi dengan jelas yang meliputi proses kerja dalam organisasi. Namun apabila formalisasi rendah perilaku kerja relatif tidak terprogram dan para karyawan mempunyai banyak kebebasan untuk menjalankan keleluasaan dalam kerja.[16]
Enam elemen struktur organisasi di atas dapat dibuatkan dalam bentuk struktur organisasi, yang mana bentuk struktur yang biasa dipakai dalam sebuah organisasi, antara lain[17] :
1.           Organisasi garis mempunyai ciri sebagai bentuk organisasi kecil dengan tujuan yang sederhana, jumlah karyawan sedikit dan saling mengenal dekat dan tingkat spesialisasi kurang. Adapun kebaikannya, komando dan garis kepemimpinan terjamin, mudah dan tegas. Proses pengambilan keputusan cepat. Dapat diketahui kinerja pegawai yang baik. Rasa solidaritas yang tinggi. Sedangkan kekurangannya adalah seluruh orang bergantung pada satu orang, kecenderungan bertindak otoriter, kesempatan karyawan untuk berkembang terbatas.


2.          Organisasi garis dan staf mempunyai ciri, organisasi besar dan komplek, jumlah karyawan banyak dan daerah kerja luas, pimpinan dan karyawan berhubungan tidak langsung, spesialisasi pekerjaan beraneka ragam. Adapun kebaikannya, dapat digunakan untuk organisasi jenis apapun. Ada job deskripsi, staffing dan spesialisasi kerja diutamakan. Pengambilan keputusan diambil secara mufakat. Koordinasi mudah. Sedangkan kekurangannya adalah rasa solidaritas tidak begitu tinggi. Sering tidak jelas antara tugas, perintah dan nasehat. Koordinasi ditingkat staf kurang baik.
3.          Organisasi fungsional, mempunyai ciri pembagian tugas jelas, dalam proses organisasi tidak memerlukan banyak koordinasi, pembagian tugas didasarkan kepada spesialisasi pegawai, para pemimpin mempunyai kewenangan dan tanggung jawab. Adapun kebaikannya yaitu, pembagian tugas jelas sehingga tidak overlapping, spesialisasi karyawan dapat dikembangkan atau dimaksimalkan, solidaritas dan koordinasi antar karyawan mudah terjadi. Kekurangannya, karyawan sering terlalu berfokus pada spesialisasinya, sering terjadi egosection, sistem koordinasi tidak jelas jika terjadi masalah mendadak.
4.         Organisasi kepanitiaan mempunyai ciri tugasnya tertentu dan waktunya terbatas, ketua bisa merangkap anggota, tugas dilaksanakan secara bersama, tugas, tanggung jawab dan wewenang tidak mencolok. Adapun kebaikannya, pengambilan keputusan cepat dengan musyawarah, kemungkinan orang bertindak otoriter dan menyimpang kecil, kerja sama mudah dilakukan. Kekurangannya, pengambilan keputusan bisa lambat karena perbedaan cara pandang, tiap individu sulit bertanggung jawab, perintah sering lintas pimpinan, daya kreasi perseorangan tidak menonjol.
C.        Rentang Kendali Dalam Organisasi
Rentang kendali (Span of Control) merupakan jumlah optimal bawahan yang dapat dikelola oleh seorang pimpinan atau pemimpin dalam sebuah organisasi.[18] Jumlah bawahan yang dapat dikendalikan antara perusahaan satu dengan perusahaan lain tidak sama, hal ini lebih disebabkan pada keluasan atau besar tidaknya perusahaan itu berkecimpung. Namun banyak pendapat yang menyatakan bahwa manajemen puncak sebaiknya membawahi secara langsung antara empat sampai delapan orang.
Lain lagi halnya Robbins, bahwa akhir-akhir ini rentang kendali yang digunakan adalah rentang kendali yang lebar, seperti rantang kendali manajer pada perusahaan General Electric dan Reynold Metal, yaitu mencapai 10 atau 12 bawahan, dua kali lebar rentang kendali 15 tahun yang lalu.[19]
Basu Swastha (1998) dalam Herlambang, perbedaan rentang kendali itu disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu :
1.      Jenis pekerjaan
2.      Pelatihan karyawan
3.      Kemampuan manajer
4.      Efektivitas komunikasi
Masih menurutnya, selain faktor-faktor tersebut juga ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi rentang kendali, yaitu yang berkaitan dengan perilaku individu (organitation behavi­or), yaitu :
1.      Keterampilan karyawan akan mempengaruhi rentang kendali dalam sebuah organisasi. Seorang manajer akan mudah melakukan pengendalian kepada karyawan dengan tingkat keterampilan yang sesuai dengan bidang pekerjaannya.
2.      Sikap karyawan adalah respon seorang individu dalam menghadapi sebuah persoalan. Ia akan mempunyai sikap positif atau negatif terhadap sebuah persoalan, dan ini tentu akan mempengaruhi rentang kendali dalam organisasi. Rentang kendali akan berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan sebuah organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan, pemilihan individu yang tepat dalam posisi yang tepat (the right man on the right place) sangat menentukan tingkat keberhasilan sebuah organisasi.
BAB III
PENUTUP
A.       Kesimpulan
Organisasi itu adalah adanya hubungan atau kerja sama oleh dua orang atau lebih yang dilakukan secara sadar dan terus menerus dalam bentuk pola kerja yang efisien dan terstruktur melalui arahan-arahan melalui sistem komunikasi yang dibangun dalam organisasi itu guna mencapai tujuan bersama yang diinginkan.
Pengaturan sumber daya organisasi  tersusun dalam sebuah struktur organisasi yang di dalamnya menetapkan cara tugas pekerjaan dibagi, dikelompokkan dan dikoordinasikan secara formal, seperti spesialisasi pekerjaan, departementalisasi, rantai komando, rentang kendali, sentralisasi, desentralisasi serta formalisasi.
Bentuk struktur organisasi ada empat, yaitu organisasi garis, organisasi garis dan staf, organisasi fungsional, organisasi kepanitiaan.
Rentang kendali (Span of Control) adalah jumlah optimal bawahan yang dapat dikelola oleh seorang pimpinan atau pemimpin dalam sebuah organisasi.
B.        Saran
Dalam menjalankan organisasi baik sebagai pimpinan atau bawahan haruslah menjunjung tinggi perilaku organisasi yang positif guna mencapai tujuan bersama secara efektif, efisien dan produktif.
Selesaikanlah pekerjaan yang satu kemudian lakukanlah pekerjaan yang lain (QS. at-Insyirah : 7).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta, Pustaka Ibnu Katsir, 2012
Herlambang, Susatyo, Perilaku Organisasi Cara Mudah Mempelajari Perilaku Manusia Dalam Sebuah Organisasik, Yogyakarta, Gosyen Publishing, 2014
Robbins, P. Stephen, Perilaku Organisasi Konsep Kontroversi Aplikasi ed 8, Jakarta, Prenhallindo, 2001.
Wibowo, Perilaku Dalam Organisasi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2014.












[1] Lihat QS.An-Nahl : 68-69  & Al-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta, Pustaka Ibnu Katsir, 2012, h.212
[2] Lihat QS.Thaha : 50.
[3] Lihat QS.At-Tiin : 4.
[4] Herlambang, Perilaku Organisasi Cara Mudah Mempelajari Perilaku Manusia dalam Sebuah Organisasi, Yogyakarta, Gosyen Publishing, 2014, h.111.
[6] Wibowo, Perilaku Dalam Organisasi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2014, h.2.
[7] Herlambang, Perilaku Organisasi Cara Mudah Mempelajari Perilaku Manusia dalam Sebuah Organisasi, Yogyakarta, Gosyen Publishing, 2014, h.112.
[8] Robbins, Perilaku Organisasi Edisi kedelapan, Jakarta, Prenhallindo, 2001, h.132.
[9] Robbins, h.132.
[10] Robbins, h.134.
[11] Robbins, h.136.
[12] Robbins, h.137.
[13] Robbins, h. 138.
[14] Robbins, 138.
[15] Robbins, 140.
[16] Robbins, h.140.
[17] Herlambang, Perilaku Organisasi Cara Mudah Mempelajari Perilaku Manusia dalam Sebuah Organisasi, Yogyakarta, Gosyen Publishing, 2014, h.113.
[18] [18] Herlambang, Perilaku Organisasi Cara Mudah Mempelajari Perilaku Manusia dalam Sebuah Organisasi, Yogyakarta, Gosyen Publishing, 2014, h.123.
[19] Robbins, Perilaku Organisasi Edisi kedelapan, Jakarta, Prenhallindo, 2001, h.138.