MEMBANGUN KEBERAGAMAAN INKLUSIF
Muhamad Asran F. Dirun
Isu perpecahan yang terjadi di
Indonesia di antaranya disebabkan oleh perbedaan agama, suku, ras dan golongan.
Begitu banyak kejadian yang sudah terjadi, seperti konflik di Maumere (1995),
Surabaya, Situbundo dan Tasikmalaya (1996), Rengas Dengklok (1997), Jakarta,
Solo dan Kupang (1998), Poso, Ambon (1999-2002),[1]
kasus bom di Medan pada malam Natal Desember 2000, kerusuhan etnis antara
pribumi dengan Tionghua pada Mei 1998, kerusuhan SARA di Sambas (1997),
Bengkayang (1998) dan Pontianak (1999), kerusuhan Sampit (2001). Triandis
(1994) mengatakan dalam Rosyidi perbedaan agama itu bisa menghasilkan
keuntungan maupun kerugian. Keuntungan jika dikelola dengan baik akan
menghasilkan kreativitas dan kualitas hidup yang lebih tinggi. Sedangkan
kerugiannya adalah menurunnya kohesitas, yang disebabkan oleh konflik
antar budaya subyektif yang beragam.
Apalagi perbedaan itu dipertajam
oleh ajaran-ajaran agama itu sendiri yang oleh penganutnya dipahami sebagai rutinitas
ritual peribadatan, simbol-simbol, fanatisme, fatalisme, klaim kebenaran
absolut terhadap agamanya, taklid buta, dan sikap-sikap lainnya yang semuanya
pada tataran relatif (eksklusif). Bukankah Allah SWT menegaskan dalam
Q.S.30:22, sebagaimana dalam Shahih Tafsir Ibnu Katsir (2011:100), Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. Penciptaan
langit dan bumi, perbedaan bahasa dan warna kulit merupakan tanda-tanda
kekuasaan Allah SWT. Penciptaan itu tidak lain agar manusia bisa menghargai
perbedaan tersebut dengan saling menghormati (tasamuh) dan membiarkan
penganut agama lain menjalankan aktivitas keagamaannya. Perbedaan itu juga
diciptakan agar manusia bisa saling kenal mengenal dan melakukan hubungan
kemanusiaan (QS.49:13).
Menurut Weber (1958) dalam Ali,
agama adalah sebagai kekuatan potensial dalam membentuk nilai-nilai yang pada
gilirannya membentuk karakter keseluruhan suatu masyarakat, sedangkan Summer
(1906) juga percaya bahwa agama kerapkali membentuk norma-norma sosial dasar. Asumsi-asumsi Weber dan Summer di atas
dapat menumbuhkan suatu konsep bahwa setiap orang yang beragama harus mempunyai
keyakinan yang kuat terhadap agamanya, dan memahami serta mengamalkan
nilai-nilai agamanya, lebih-lebih nilai universal yang terkandung ajaran
agamanya dalam hubungannya dengan sesama manusia yang sama-sama mempercayai
adanya Tuhan, sehinggga dengan demikian mampu menumbuhkan sikap saling
menghormati, menghargai dan saling bantu membantu dalam hal kemanusiaan.
Keberagamaan
inklusif merupakan keniscayaan yang harus dikembangkan oleh masyarakat
Indonesia yang majemuk, plural, multikultur. Sebab kita tidak ingin lagi
kejadian-kejadian masa lalu terulang kembali. Bangsa kita sudah mengalami
trauma, penderitaan, kehilangan harta dan jiwa yang seharusnya hal itu tidak
perlu terjadi. Guna terciptanya suatu masyarakat yang rukun, damai, aman,
tenteram dan sejahtera, perlu dibangun sikap keberagamaan inklusif, di
antaranya :
Paradigma
Inklusif-Pluralis : Untuk bisa membangun keberagamaan
inklusif kita tidak bisa lepas dari paradigma berpikir manusia yang eksklusif,
karena hampir semua ajaran dalam agama mengajarkan akan hal itu, seperti dalam
sejarah peristiwa tahkim atau arbitrase antara Ali bin Abi Thalib dengan
Muawiyah, pengikut-pengikut setia nabi Isa as yang menganggap beliau sebagai
anak Tuhan, belum lagi simbol-simbol keagamaan yang mereka anggap suci,
ritual-ritual keagamaan dan lain-lain. Agama merupakan pagar beton atau
pembatas antara yang benar dan salah, sehingga menimbulkan pemikiran orang
barangsiapa yang melanggar dari kebenaran agamanya ia katakan kafir. Belum lagi
sifat fanatisme, fatalisme, taklid kepada suatu ajaran agama yang masih dalam
tataran bersifat relatif. Hal inilah yang nantinya akan menimbulkan sikap
eksklusif, egoisme, idealisme, prangsangka (dzanni), klaim sebagai agama yang
paling benar (claim of the only truth), menutup diri dengan penganut
agama lain, yang nantinya bisa berakhir dengan pertikaian dan perkelahian,
intimidasi, teror, sabotase dan lain sebagainya. Belajar dari peristiwa yang
sudah terjadi dulu, masyarakat Indonesia sudah sepantasnya merubah paradigma
berpikir lama (eksklusif) kepada paradigma berpikir baru (inklusif), yaitu
dengan meyakini akan kebenaran agama yang dianut seraya mencoba memahami ajaran
agama orang lain yang juga berpotensi kebenaran yang sama-sama berasal dari
Tuham (agama samawi), menerima pendapat orang lain (agree and disagreement)
dalam kerangka kerukunan kehidupan antar umat beragama dan istiqomah dalam
menjalankan agama dengan menyerahkan kepada Tuhan, biar Tuhan yang mengadili
siapa di antara kita yang benar dalam beragama. Islam mengajarkan yang pertama
kali dibangun adalah ketauhidan dan keimanan, baru melaksanakan amal saleh
dengan melakukan hubungan atau interaksi dengan orang lain. Hans Kung (2003:12)
mengatakan tidak ada perdamaian sesama manusia tanpa ada perdamaian
antar-agama, tidak ada perdamaian antar-agama tanpa ada dialog antar agama dan
tidak ada dialog antar agama tanpa penelusuran dasar-dasar agama. Jadi untuk
membangun keberagamaan yang inklusif seseorang harus memahami : 1. Prinsip
kebebasan beragama. Prinsip ini menyatakan tidak ada paksaan dalam agama,
segala bentuk pemaksaan dalam agama justru melahirkan iman tidak sejati dan
tidak sah. 2. Prinsip toleransi. Yaitu setiap individu beriman tidak bisa tidak
kecuali membiarkan penganut agama lain menyatakan dan menerapkan keimanannya
(toleransi pasif), atau membantunya dalam melaksanakan keimanannya itu. 3.
Prinsip aksiologi, yaitu bahwa tujuan hidup bagi tiap penganut keyakinan (agama
atau spritualitas) adalah membawa kebaikan, mencegah keburukan dan meyakini Zat
Maha Tinggi yang bisa dijadikan rujukan permanen (bench mark) bagi tiap
hubungan antar-agama dan keyakinan. 4. Prinsip kompetensi dalam kebaikan. Tiap
umat beragama berhak sekaligus wajib untuk bersaing secara sehat dan jujur
untuk mengembangkan keyakinannya. Dengan demikian kita dapat mencegah bahaya
ketidakpedulian (fallacy of indifference) di mana kita membatasi
keseluruhan misi Tuhan kepada Cuma satu bagian dari umat manusia dan bahaya
keangkuhan (fallacy of arrogance) di mana kita menganggap misi kita
sebagai satu-satunya misi ke seluruh umat manusia.
Paradigma
Beragama Humanis :
yaitu sikap beragama yang santun dalam menjalankan agamanya dan interaksi
sosial, seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spritual, individual dan
sosial, serta dalam berhubungan dengan Tuhan, manusia dan lingkungannya. Mereka
yang moderat akan menjunjung tinggi keadilan, arif dalam bersikap, tidak
gampang terhasut, marah, menuduh ataupun memaksa, prioritas kepedulian
diberikan kepada tetangga dekat, agama mereka jadikan sebagai pendorong
kerendahhatian, kesederhanaan dan penegak kemaslahatan bersama. Sikap beragama
berlandaskan hati nurani, kejujuran dan amanah, tidak terjadi gap antara
kesalehan individual dan kesalehan publik. Dalam paradigma humanis, agama,
kemanusiaan dan keberadaban tidak terpisahkan. Tuhan menginginkan kemudahan
bagi manusia, bukan kesulitan (QS.2:185). Yesus menekankan kasih dan damai,
Buddha dan Konghucu mengutamakan keseimbangan antar yin dan yang, antara sifat
maskulin dan feminim. Keberagamaan humanis ditunjukkan dengan sikap proaktif,
yaitu agama menggerakkan penganutnya bersikap aktif dan proaktif mencegah
kezaliman dan menyebarkan kebaikan dan perdamaian. Pada paradigma lama agama
memberikan dogmatis, tekstual-formalistik, ritualistik dan simbolik. Padahal
agama memberikan pemahaman substantif dan penuh makna dengan menjadikan
pengalaman beribadah yang berdampak sosial dan berdimensi yang lebih luas.
Agama harus masuk ke dalam ruang publik dengan nilai-nilai etika yang
universal. Marcela A.Boisard dalam Ali menyatakan, bahwa agama mengajarkan
nilai-nilai kesabaran, ketahanan, kegigihan bekerja dan kebesaran jiwa. Agama
Kristen, Hindu, Buddha dan konghucu lahir untuk memanusiakan manusia. Karena
pada dasarnya manusia tidak suka pada apa saja yang berlebihan atau melampaui
batas. Keberlebihan juga tidak akan langgeng, karena manusia akan mengalami
kelelahan fisik atau spritual setelah beberapa saat bersikap ekstrem. Penanaman
komitmen yang kuat dalam perbarui sikap beragama kita agar lebih moderat dan
berwajah humanis, betapapun pahitnya kehidupan beragama masa lalu dan betapapun
besarnya tantangan bagi agama-agma di tahun mendatang, semoga sense of
direction dan sense of hope masih dimiliki para pemimpin dan rakyat
kita untuk memulai lembaran baru kehidupan beragama yang lebih damai dan
bersahabat.
Beragama
dialogis-persuasif : Semua manusia meyakini adanya Tuhan yang satu
Yang Maha Perkasa dan tidak pernah mati, dan Dia pernah menurunkan Rasul yang
disertai dengan kitab suci kepada umat manusia sesuai dengan masanya. Ini
menunjukkan bahwa agama samawi mempunyai kesamaan-kesamaan kalau dilihat dari
sejarahnya. Namun selama ini kajian-kajian kitab suci agama-agama hanya
dilakukan oleh masing-masing penganutnya, seolah-olah tidak ada hubungan sama
sekali dengan kitab suci lainnya. Hal ini lebih disebabkan pemeluknya termasuk
kalangan intelektualnya mengklaim kebenaran absolut atas kitab sucinya sendiri
seraya menganggap kitab suci yang lain tidak benar. Hampir semua kitab suci
menyinggung atau berbicara tentang kitab suci lain, seperti Al-Quran berbicara
tentang Taurat, Zabur dan Injil seraya menegaskan bahwa Al-Quran diturunkan
untuk membenarkan kiatb-kitab sebelumnya. Klaim berupa prasangka terhadap kisah
klasik dijadikan acuan baku dan dipahami secara tekstual, seperti cerita Nabi
Muhammad SAW marah pada Umar bin Khattab yang membawa secarik taurat, apa ini?
Bukankah aku membawa Alkitab yang jelas? Andaikan saudaraku Musa as hidup pada
zamanku tentu beliau tidak akan sulit-sulit, kecuali mengikutiku. Belum lagi
konflik masa lalu, seperti perang salib dan konflik Israel dan Palestina yang
memunculkan anggapan bahwa Islam, Yahudi dan Kristen sama-sama memiliki
kepentingan untuk menguasai Jerusalem dan itu menjadi mendarah daging
kecurigaan berlebihan terhadap kitab-kitab suci sesama mereka. Kebutaan
terhadap kitab suci dan ajaran-ajarannya akan gampang melahirkan kecurigaan
bahkan kebencian yang dapat menjadi benih-benih konflik berbasis agama. Untuk
menghindari itu semua tidak lain dengan cara dialog kitab suci. Paling
tidak akan muncul, pertama setelah manusia diciptakan satu umat kemudian
berpencar-pencar, masing-amsing memiliki sejarah dan budaya yang berbeda-beda.
Pluralisme menjadi kemestiannya karena sulit bisa dipahami apabila hanya ada
satu kitab suci bagi semua umat manusia yang plural. Apabila semua agama
mengklaim memiliki satu Tuhan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka sangat
logis apabila semua kitab suci yang hadir dalam sejarah juga menuju kepada satu
Tuhan, the unity of God meniscayakan the unity of mankind, terlepas
berbeda-beda bahasa dan ajaran yang dikandungnya, bahwa Tuhan yang sama telah
menyapa kita masing-masing dan bertindak di tengah umat manusia. Kedua,
Umat Islam mempunyai 25 nabi yang wajib
dipercaya dan ratusan nabi-nabi yang tidak diceritakan dalam Al-Quran, ini
artinya keberadaan nabi atau rasul dan kitab suci tidak dapat dibatasi pada
nabi-nabi dan kitab-kitab suci yang dikenal saja. Ketiga, agama-agama
sesungguhnya mempunyai keterkaitan historis, meskipun tradisi imannya berbeda.
Tidak benar secara historis jika umat beragama tertentu memutuskan hubungan
historis dengan agama-agama lain. Atas dasar ini Umat Islam misalnya menaruh
perhatian pada Taurat atau perjanjian lama, karena melihat dirinya sebagai
kelanjutan tradisi yang sama yang datang dari nabi Ibrahim as ke Yesus dan
kemudian sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Keempat, kitab suci umat
Kristen, Yahudi dan Islam memuat sosok-sosok dan topik yang sama, kisah Ibrahim
dan kedua putranya, Ismail dan Ishak dibahas dalam ketiga kitab suci ini. Oleh
karena itu secara realistis, dialog kitab suci merupakan jalan menuju pencarian
kebenaran ajaran agama-agama. Dengan adanya dialog ini paling tidak terjadi
penguatan keimanan terhadap sikap keterbukaan untuk mendiskusikannya sehingga
mendapatkan hal-hal yang baru dan logis mengenai kebenaran agama yang
dianutnya.
Keberagamaan
melalui pendidikan di sekolah : Keberagamaan inklusif bisa diterapkan
melalui pendidikan, karena pendidikan adalah proses pemberdayaan manusia
menjadi manusia yang seutuhnya. . Pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan
inteligensi peserta didik saja, namun pengembangannya lebih kepada program
kurikulum yang luas dan fleksibel. Pendidikan tidak hanya menjadikan manusia
pintar, tetapi menjadikan manusia lebih berbudaya. Dengan demikian proses
pendidikan dapat kita rumuskan sebagai proses hominisasi dan humanisasi
seseorang yang berlangsung di dalam lingkungan hidup keluarga dan masyarakat
yang berbudaya kini dan masa depan. Untuk membangun keberagamaan inklusif di
sekolah tentu tidak lepas dari peranan guru yang mengajar. Sikap dan pemahaman
siswa harus dibangun menuju keberagamaan yang inklusif dan moderat. Seorang
guru harus menyampaikan nilai substantif yang terkandung dalam pengajaran
Agama, tidak hanya kepada hal-hal yang bersifat simbolik, ritual atau dogmatis.
Guru harus menggambarkan sesuai dengan realitas kehidupan yang ada dengan tidak
melemahkan agama-agama lain. Guru harus harus menyampaikan nilai-nilai agama
yang universal kepada peserta didiknya dan mengajak kepada peserta didiknya
untuk selalu melakukan kebaikan kepada siapapun. Guru tidak boleh
membeda-bedakan agama siswa, apalagi memunculkan sikap sinis atau kebencian
kepada agama siswa. Nilai-nilai perbedaan itu dijadikan sebagai warna yang
indah dalam menjalin kasih dan sayang dan menyebarkan salam (kedamaian) kepada
semua manusia. Astuti (2011:68) untuk mewujudkan sekolah yang berwawasan
keberagamaan inklusif, paling tidak ada lima strategi, 1. Memiliki misi yang
jelas dengan tujuan-tujuan yang tertulis sebagai acuan standar mutu bagi
sekolah, 2. Hasil pembelajaran yang didapatkan memiliki akuntabilitas yang
luas, 3. Menciptakan iklim pembelajaran yang kolaboratif dan fleksibel, 4.
Sajian kurikulum mengedepankan ekspektasi yang tinggi untuk murid, 5.
Mengembangkan profesionalitas untuk membangun struktur kerja sama, pemecahan
masalah bersama dan tukar keahlian. Sementara Sementara Brenda Watson dalam
Rosyidi mengajukan model pembelajaran agama inklusif dengan nama Essentialist
religous education model atau model pembelajaran agama terpadu.
Model ini berupaya membentuk kepribadian secara padu meliputi akal, hati dan
jiwa, serta mendukung upaya memadukan kurikulum atau materi pelajaran agama
dengan materi pelajaran umum dengan menjadikan agama sebagai basis atau dasar
bagi pelajaran lain, memadukan sesuatu yang dipelajari siswa dengan pengalaman
diri untuk melakukan refleksi diri. Model ini juga memberikan kontribusi
tertentu bagi perkembangan peserta didik secara utuh serta memberi kepuasan secara
pribadi terhadap keyakinan dan nilai yang dianutnya sekaligus membina sikap
toleran terhadap agama-agama lain. Secara subyektif siswa mencari makna agama
agar memiliki komitmen yang tinggi terhadap keyakinan agama atau akidahnya.
Secara obyektif siswa mengkaji fenomena agama di lingkungannya untuk
mengembangkan sikap tasamuh.