Rabu, 02 April 2014

MEMBANGUN KEBERAGAMAAN INKLUSIF



MEMBANGUN KEBERAGAMAAN INKLUSIF
Muhamad Asran F. Dirun

            Isu perpecahan yang terjadi di Indonesia di antaranya disebabkan oleh perbedaan agama, suku, ras dan golongan. Begitu banyak kejadian yang sudah terjadi, seperti konflik di Maumere (1995), Surabaya, Situbundo dan Tasikmalaya (1996), Rengas Dengklok (1997), Jakarta, Solo dan Kupang (1998), Poso, Ambon (1999-2002),[1] kasus bom di Medan pada malam Natal Desember 2000, kerusuhan etnis antara pribumi dengan Tionghua pada Mei 1998, kerusuhan SARA di Sambas (1997), Bengkayang (1998) dan Pontianak (1999), kerusuhan Sampit (2001). Triandis (1994) mengatakan dalam Rosyidi perbedaan agama itu bisa menghasilkan keuntungan maupun kerugian. Keuntungan jika dikelola dengan baik akan menghasilkan kreativitas dan kualitas hidup yang lebih tinggi. Sedangkan kerugiannya adalah menurunnya kohesitas, yang disebabkan oleh konflik antar budaya subyektif yang beragam.
            Apalagi perbedaan itu dipertajam oleh ajaran-ajaran agama itu sendiri yang oleh penganutnya dipahami sebagai rutinitas ritual peribadatan, simbol-simbol, fanatisme, fatalisme, klaim kebenaran absolut terhadap agamanya, taklid buta, dan sikap-sikap lainnya yang semuanya pada tataran relatif (eksklusif). Bukankah Allah SWT menegaskan dalam Q.S.30:22, sebagaimana dalam Shahih Tafsir Ibnu Katsir (2011:100), Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. Penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasa dan warna kulit merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Penciptaan itu tidak lain agar manusia bisa menghargai perbedaan tersebut dengan saling menghormati (tasamuh) dan membiarkan penganut agama lain menjalankan aktivitas keagamaannya. Perbedaan itu juga diciptakan agar manusia bisa saling kenal mengenal dan melakukan hubungan kemanusiaan (QS.49:13).
            Menurut Weber (1958) dalam Ali, agama adalah sebagai kekuatan potensial dalam membentuk nilai-nilai yang pada gilirannya membentuk karakter keseluruhan suatu masyarakat, sedangkan Summer (1906) juga percaya bahwa agama kerapkali membentuk norma-norma sosial dasar.       Asumsi-asumsi Weber dan Summer di atas dapat menumbuhkan suatu konsep bahwa setiap orang yang beragama harus mempunyai keyakinan yang kuat terhadap agamanya, dan memahami serta mengamalkan nilai-nilai agamanya, lebih-lebih nilai universal yang terkandung ajaran agamanya dalam hubungannya dengan sesama manusia yang sama-sama mempercayai adanya Tuhan, sehinggga dengan demikian mampu menumbuhkan sikap saling menghormati, menghargai dan saling bantu membantu dalam hal kemanusiaan.
Keberagamaan inklusif merupakan keniscayaan yang harus dikembangkan oleh masyarakat Indonesia yang majemuk, plural, multikultur. Sebab kita tidak ingin lagi kejadian-kejadian masa lalu terulang kembali. Bangsa kita sudah mengalami trauma, penderitaan, kehilangan harta dan jiwa yang seharusnya hal itu tidak perlu terjadi. Guna terciptanya suatu masyarakat yang rukun, damai, aman, tenteram dan sejahtera, perlu dibangun sikap keberagamaan inklusif, di antaranya :
Paradigma Inklusif-Pluralis : Untuk bisa membangun keberagamaan inklusif kita tidak bisa lepas dari paradigma berpikir manusia yang eksklusif, karena hampir semua ajaran dalam agama mengajarkan akan hal itu, seperti dalam sejarah peristiwa tahkim atau arbitrase antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah, pengikut-pengikut setia nabi Isa as yang menganggap beliau sebagai anak Tuhan, belum lagi simbol-simbol keagamaan yang mereka anggap suci, ritual-ritual keagamaan dan lain-lain. Agama merupakan pagar beton atau pembatas antara yang benar dan salah, sehingga menimbulkan pemikiran orang barangsiapa yang melanggar dari kebenaran agamanya ia katakan kafir. Belum lagi sifat fanatisme, fatalisme, taklid kepada suatu ajaran agama yang masih dalam tataran bersifat relatif. Hal inilah yang nantinya akan menimbulkan sikap eksklusif, egoisme, idealisme, prangsangka (dzanni), klaim sebagai agama yang paling benar (claim of the only truth), menutup diri dengan penganut agama lain, yang nantinya bisa berakhir dengan pertikaian dan perkelahian, intimidasi, teror, sabotase dan lain sebagainya. Belajar dari peristiwa yang sudah terjadi dulu, masyarakat Indonesia sudah sepantasnya merubah paradigma berpikir lama (eksklusif) kepada paradigma berpikir baru (inklusif), yaitu dengan meyakini akan kebenaran agama yang dianut seraya mencoba memahami ajaran agama orang lain yang juga berpotensi kebenaran yang sama-sama berasal dari Tuham (agama samawi), menerima pendapat orang lain (agree and disagreement) dalam kerangka kerukunan kehidupan antar umat beragama dan istiqomah dalam menjalankan agama dengan menyerahkan kepada Tuhan, biar Tuhan yang mengadili siapa di antara kita yang benar dalam beragama. Islam mengajarkan yang pertama kali dibangun adalah ketauhidan dan keimanan, baru melaksanakan amal saleh dengan melakukan hubungan atau interaksi dengan orang lain. Hans Kung (2003:12) mengatakan tidak ada perdamaian sesama manusia tanpa ada perdamaian antar-agama, tidak ada perdamaian antar-agama tanpa ada dialog antar agama dan tidak ada dialog antar agama tanpa penelusuran dasar-dasar agama. Jadi untuk membangun keberagamaan yang inklusif seseorang harus memahami : 1. Prinsip kebebasan beragama. Prinsip ini menyatakan tidak ada paksaan dalam agama, segala bentuk pemaksaan dalam agama justru melahirkan iman tidak sejati dan tidak sah. 2. Prinsip toleransi. Yaitu setiap individu beriman tidak bisa tidak kecuali membiarkan penganut agama lain menyatakan dan menerapkan keimanannya (toleransi pasif), atau membantunya dalam melaksanakan keimanannya itu. 3. Prinsip aksiologi, yaitu bahwa tujuan hidup bagi tiap penganut keyakinan (agama atau spritualitas) adalah membawa kebaikan, mencegah keburukan dan meyakini Zat Maha Tinggi yang bisa dijadikan rujukan permanen (bench mark) bagi tiap hubungan antar-agama dan keyakinan. 4. Prinsip kompetensi dalam kebaikan. Tiap umat beragama berhak sekaligus wajib untuk bersaing secara sehat dan jujur untuk mengembangkan keyakinannya. Dengan demikian kita dapat mencegah bahaya ketidakpedulian (fallacy of indifference) di mana kita membatasi keseluruhan misi Tuhan kepada Cuma satu bagian dari umat manusia dan bahaya keangkuhan (fallacy of arrogance) di mana kita menganggap misi kita sebagai satu-satunya misi ke seluruh umat manusia.
Paradigma Beragama Humanis : yaitu sikap beragama yang santun dalam menjalankan agamanya dan interaksi sosial, seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spritual, individual dan sosial, serta dalam berhubungan dengan Tuhan, manusia dan lingkungannya. Mereka yang moderat akan menjunjung tinggi keadilan, arif dalam bersikap, tidak gampang terhasut, marah, menuduh ataupun memaksa, prioritas kepedulian diberikan kepada tetangga dekat, agama mereka jadikan sebagai pendorong kerendahhatian, kesederhanaan dan penegak kemaslahatan bersama. Sikap beragama berlandaskan hati nurani, kejujuran dan amanah, tidak terjadi gap antara kesalehan individual dan kesalehan publik. Dalam paradigma humanis, agama, kemanusiaan dan keberadaban tidak terpisahkan. Tuhan menginginkan kemudahan bagi manusia, bukan kesulitan (QS.2:185). Yesus menekankan kasih dan damai, Buddha dan Konghucu mengutamakan keseimbangan antar  yin dan yang, antara sifat maskulin dan feminim. Keberagamaan humanis ditunjukkan dengan sikap proaktif, yaitu agama menggerakkan penganutnya bersikap aktif dan proaktif mencegah kezaliman dan menyebarkan kebaikan dan perdamaian. Pada paradigma lama agama memberikan dogmatis, tekstual-formalistik, ritualistik dan simbolik. Padahal agama memberikan pemahaman substantif dan penuh makna dengan menjadikan pengalaman beribadah yang berdampak sosial dan berdimensi yang lebih luas. Agama harus masuk ke dalam ruang publik dengan nilai-nilai etika yang universal. Marcela A.Boisard dalam Ali menyatakan, bahwa agama mengajarkan nilai-nilai kesabaran, ketahanan, kegigihan bekerja dan kebesaran jiwa. Agama Kristen, Hindu, Buddha dan konghucu lahir untuk memanusiakan manusia. Karena pada dasarnya manusia tidak suka pada apa saja yang berlebihan atau melampaui batas. Keberlebihan juga tidak akan langgeng, karena manusia akan mengalami kelelahan fisik atau spritual setelah beberapa saat bersikap ekstrem. Penanaman komitmen yang kuat dalam perbarui sikap beragama kita agar lebih moderat dan berwajah humanis, betapapun pahitnya kehidupan beragama masa lalu dan betapapun besarnya tantangan bagi agama-agma di tahun mendatang, semoga sense of direction dan sense of hope masih dimiliki para pemimpin dan rakyat kita untuk memulai lembaran baru kehidupan beragama yang lebih damai dan bersahabat.
Beragama dialogis-persuasif : Semua manusia meyakini adanya Tuhan yang satu Yang Maha Perkasa dan tidak pernah mati, dan Dia pernah menurunkan Rasul yang disertai dengan kitab suci kepada umat manusia sesuai dengan masanya. Ini menunjukkan bahwa agama samawi mempunyai kesamaan-kesamaan kalau dilihat dari sejarahnya. Namun selama ini kajian-kajian kitab suci agama-agama hanya dilakukan oleh masing-masing penganutnya, seolah-olah tidak ada hubungan sama sekali dengan kitab suci lainnya. Hal ini lebih disebabkan pemeluknya termasuk kalangan intelektualnya mengklaim kebenaran absolut atas kitab sucinya sendiri seraya menganggap kitab suci yang lain tidak benar. Hampir semua kitab suci menyinggung atau berbicara tentang kitab suci lain, seperti Al-Quran berbicara tentang Taurat, Zabur dan Injil seraya menegaskan bahwa Al-Quran diturunkan untuk membenarkan kiatb-kitab sebelumnya. Klaim berupa prasangka terhadap kisah klasik dijadikan acuan baku dan dipahami secara tekstual, seperti cerita Nabi Muhammad SAW marah pada Umar bin Khattab yang membawa secarik taurat, apa ini? Bukankah aku membawa Alkitab yang jelas? Andaikan saudaraku Musa as hidup pada zamanku tentu beliau tidak akan sulit-sulit, kecuali mengikutiku. Belum lagi konflik masa lalu, seperti perang salib dan konflik Israel dan Palestina yang memunculkan anggapan bahwa Islam, Yahudi dan Kristen sama-sama memiliki kepentingan untuk menguasai Jerusalem dan itu menjadi mendarah daging kecurigaan berlebihan terhadap kitab-kitab suci sesama mereka. Kebutaan terhadap kitab suci dan ajaran-ajarannya akan gampang melahirkan kecurigaan bahkan kebencian yang dapat menjadi benih-benih konflik berbasis agama. Untuk menghindari itu semua tidak lain dengan cara dialog kitab suci. Paling tidak akan muncul, pertama setelah manusia diciptakan satu umat kemudian berpencar-pencar, masing-amsing memiliki sejarah dan budaya yang berbeda-beda. Pluralisme menjadi kemestiannya karena sulit bisa dipahami apabila hanya ada satu kitab suci bagi semua umat manusia yang plural. Apabila semua agama mengklaim memiliki satu Tuhan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka sangat logis apabila semua kitab suci yang hadir dalam sejarah juga menuju kepada satu Tuhan, the unity of God meniscayakan the unity of mankind, terlepas berbeda-beda bahasa dan ajaran yang dikandungnya, bahwa Tuhan yang sama telah menyapa kita masing-masing dan bertindak di tengah umat manusia. Kedua, Umat Islam mempunyai  25 nabi yang wajib dipercaya dan ratusan nabi-nabi yang tidak diceritakan dalam Al-Quran, ini artinya keberadaan nabi atau rasul dan kitab suci tidak dapat dibatasi pada nabi-nabi dan kitab-kitab suci yang dikenal saja. Ketiga, agama-agama sesungguhnya mempunyai keterkaitan historis, meskipun tradisi imannya berbeda. Tidak benar secara historis jika umat beragama tertentu memutuskan hubungan historis dengan agama-agama lain. Atas dasar ini Umat Islam misalnya menaruh perhatian pada Taurat atau perjanjian lama, karena melihat dirinya sebagai kelanjutan tradisi yang sama yang datang dari nabi Ibrahim as ke Yesus dan kemudian sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Keempat, kitab suci umat Kristen, Yahudi dan Islam memuat sosok-sosok dan topik yang sama, kisah Ibrahim dan kedua putranya, Ismail dan Ishak dibahas dalam ketiga kitab suci ini. Oleh karena itu secara realistis, dialog kitab suci merupakan jalan menuju pencarian kebenaran ajaran agama-agama. Dengan adanya dialog ini paling tidak terjadi penguatan keimanan terhadap sikap keterbukaan untuk mendiskusikannya sehingga mendapatkan hal-hal yang baru dan logis mengenai kebenaran agama yang dianutnya.
Keberagamaan melalui pendidikan di sekolah : Keberagamaan inklusif bisa diterapkan melalui pendidikan, karena pendidikan adalah proses pemberdayaan manusia menjadi manusia yang seutuhnya. . Pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan inteligensi peserta didik saja, namun pengembangannya lebih kepada program kurikulum yang luas dan fleksibel. Pendidikan tidak hanya menjadikan manusia pintar, tetapi menjadikan manusia lebih berbudaya. Dengan demikian proses pendidikan dapat kita rumuskan sebagai proses hominisasi dan humanisasi seseorang yang berlangsung di dalam lingkungan hidup keluarga dan masyarakat yang berbudaya kini dan masa depan. Untuk membangun keberagamaan inklusif di sekolah tentu tidak lepas dari peranan guru yang mengajar. Sikap dan pemahaman siswa harus dibangun menuju keberagamaan yang inklusif dan moderat. Seorang guru harus menyampaikan nilai substantif yang terkandung dalam pengajaran Agama, tidak hanya kepada hal-hal yang bersifat simbolik, ritual atau dogmatis. Guru harus menggambarkan sesuai dengan realitas kehidupan yang ada dengan tidak melemahkan agama-agama lain. Guru harus harus menyampaikan nilai-nilai agama yang universal kepada peserta didiknya dan mengajak kepada peserta didiknya untuk selalu melakukan kebaikan kepada siapapun. Guru tidak boleh membeda-bedakan agama siswa, apalagi memunculkan sikap sinis atau kebencian kepada agama siswa. Nilai-nilai perbedaan itu dijadikan sebagai warna yang indah dalam menjalin kasih dan sayang dan menyebarkan salam (kedamaian) kepada semua manusia. Astuti (2011:68) untuk mewujudkan sekolah yang berwawasan keberagamaan inklusif, paling tidak ada lima strategi, 1. Memiliki misi yang jelas dengan tujuan-tujuan yang tertulis sebagai acuan standar mutu bagi sekolah, 2. Hasil pembelajaran yang didapatkan memiliki akuntabilitas yang luas, 3. Menciptakan iklim pembelajaran yang kolaboratif dan fleksibel, 4. Sajian kurikulum mengedepankan ekspektasi yang tinggi untuk murid, 5. Mengembangkan profesionalitas untuk membangun struktur kerja sama, pemecahan masalah bersama dan tukar keahlian. Sementara Sementara Brenda Watson dalam Rosyidi mengajukan model pembelajaran agama inklusif dengan nama Essentialist religous education model atau model pembelajaran agama terpadu. Model ini berupaya membentuk kepribadian secara padu meliputi akal, hati dan jiwa, serta mendukung upaya memadukan kurikulum atau materi pelajaran agama dengan materi pelajaran umum dengan menjadikan agama sebagai basis atau dasar bagi pelajaran lain, memadukan sesuatu yang dipelajari siswa dengan pengalaman diri untuk melakukan refleksi diri. Model ini juga memberikan kontribusi tertentu bagi perkembangan peserta didik secara utuh serta memberi kepuasan secara pribadi terhadap keyakinan dan nilai yang dianutnya sekaligus membina sikap toleran terhadap agama-agama lain. Secara subyektif siswa mencari makna agama agar memiliki komitmen yang tinggi terhadap keyakinan agama atau akidahnya. Secara obyektif siswa mengkaji fenomena agama di lingkungannya untuk mengembangkan  sikap tasamuh.